Sebuah mobil tampak melambatkan laju, kemudian berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Klaksonnya berbunyi, tak lama pintu kendaraan roda empat itu terbuka.
Joash dengan kemeja putih dan dasi hitam keluar dari sana. Tubuh tingginya langsung menarik perhatian orang sekitar. Senyum ramah ia perlihatkan pada beberapa orang yang menatap.
Dari dalam rumah, Rei yang mengenakan jaket abu-abu keluar. Melirik sekilas pada si lelaki, ia melewatinya untuk berdiri di dekat pintu penumpang.
"Di belakang. Bagasi." Joash bersandar di pintu mobil. Menatapi Rei dari ujung rambut, ke ujung kaki. Sorot matanya terlihat tak sabar.
Rei mengernyitkan dahi saat berhasil membuka bagasi. "Aku suruh beberapa, kamu beli semua isi toko?" Ia bicara soal tumpukan novel di depan mata. Tinggi dan lebih dari tiga tumpuk. Joash sudah gila.
Mengabaikan protes itu, Joash menyelip di antara bagasi mobil dan tubuh Rei. "Dandananku aneh?" tanyanya meminta pendapat.
Meski hanya melirik sekilas tadi, Rei sebenarnya sudah menilai. Pada pertanyaan Joash tadi, ia memberi anggukkan sebagai respon.
Menurut Rei, Joash sedikit berlebihan. Untuk apa pria itu harus mengenakan dasi? Pertama, ini sudah malam, pukul tujuh. Kedua, pertemuan ini bukan rapat.
Joash ia minta datang hanya untuk memperkenalkan diri pada ayah dan ibu. Lalu kemudian meminta izin untuk mereka pergi.
"Setidaknya kamu tidak pakai jas dan pentofel," komentar Rei saat berhasil melepaskan dasi hitam Joash. Ia menyimpan benda itu di saku jaketnya.
Joash tersenyum, memamerkan deretan giginya yang rapi dan putih. "Kamu bisa baca pikiranku dengan baik, Rei. Aku hampir memilih setelan itu tadi."
Joash hanya ingin terlihat rapi dan memberi kesan baik. Bagaimana juga, ini pertemuan pertama dengan orang tua Rei. Setelah menjalin hubungan selama dua minggu, mereka memutuskan untuk naik ke jenjang yang lebih serius.
Pernikahan. Mereka sudah sepakat akan itu.
Hari ini perkenalan. Dua hari lagi, ia akan datang bersama orang tuanya, lalu seminggu kemudian mereka akan menikah. Secepat itu?
Benar. Semudah itu, sebab baik Joash dan Rei sudah sepakat karena merasa sama-sama mendapat keuntungan dari pernikahan yang akan dilakukan.
Atas pengakuan Joash, Rei hanya menggeleng kecil. Perempuan itu menggerakkan dagu ke arah pintu rumahnya. Di mana barusan salah satu adiknya sedang mengintip.
Joash mengerti tanda itu. Lelaki itu menarik napas, lalu membuangnya pelan. Sebelum benar-benar melangkah menuju rumah Rei, ia menyempatkan diri memberi satu kecupan di leher Rei.
"Kamu pakai baju tertutup gini, aku makin enggak sabar lihat isinya," bisik pria itu seraya tersenyum nakal.
"Hm." Rei yang sudah mulai terbiasa atas sikap frontal Joash hanya berdeham sebagai respon. "Makin cepat kamu masuk, makin cepat kamu dapat yang kamu mau."
Gegas Joash menegakkan punggung. Mengulas senyum lebar, walau tak dilihat Rei, lelaki itu berjalan mantap.
Seperti yang Rei katakan sebelum ini. Reaksi dua orangtua di depannya persis seperti itu. Terkejut, terlihat shock, bahkan ibunya Rei terlihat memegangi dada, seolah akan pingsan.
"Saya Joash, Joash Chandra, pacarnya Rei."
Ia menyuarakannya dengan tenang, Reyan dan Sasa malah tampak gusar.
"Kamu bilang apa tadi?" Reyan berdeham, membersihkan tenggorokan yang tercekat. Pacar? Kekasih? Rei? Tidak mungkin, 'kan? Baru kemarin ia memarahi sulungnya itu karena tak kunjung punya pacar, sementara Nisa--anak keduanya--sudah akan punya rencana bertunangan dua bulan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...