Pasti sudah ada sesuatu yang terjadi. Kecurigaan itu semakin merajai Rei kala hari ini Joash kembali pulang di dini hari. Pria itu sama seperti beberapa hari sebelumnya. Bau alkohol, tidak mau bicara padanya dan terus-terusan menatapi dengan sorot marah.
Rei ingin tahu, tetapi Joash tak sudi menjelaskan tiap ia tanya. Hal terakhir yang Rei ingat sebelum keanehan ini terjadi adalah ia yang mencicipi rasa bir.
Perempuan itu menerka ia mabuk, karena keesokan harinya setelah malam itu, dirinya terbangun dengan perasaan tak nyaman di perut dan kepala yang pusing. Itu juga menjadi hari pertama Rei melihat Joash memasang wajah marah seperti sekarang. Terhitung sejak pagi itu pula, suaminya berhenti bicara padanya.
"Aku udah siapkan maka--"
Ucapan perempuan itu terhenti, terinterupsi oleh suara benda jatuh di lantai. Barusan, sang suami membuang semua barang di meja rias.
Rei menyatukan alis pada Joash yang sekarang tengah menoleh dan menatapnya dengan sorot penuh kebencian.
"Kamu kenapa, Ash? Aku capek menghadapi kamu yang belakangan selalu kelihatan marah. Aku tanya apa salahku, kamu enggak jawab. Mau kamu apa?" Rei sudah berada di titik bosan. Ia butuh penjelasan agar tak terus menerka.
Napas si lelaki tampak memburu. Mata dan wajah memerah, akibat amarah dan beberapa botol alkohol yang tadi sempat diminum. Tangannya mengepal dan bergetar.
Kembali si istri mengalah. Ia mendekat pada Joash, memegangi dua pipi pria itu.
"Aku buat salah apa? Aku enggak ingat apa yang terjadi malam itu. Bilang sama aku, Ash, supaya aku bisa minta maaf." Membuat mimik wajah sesedih yang dibisa, Rei memeluk suaminya.
Tidak dibalas. Pelukan itu tidak dibalas. Rei belum menyerah sampai di sana. Tangan perempuan itu perlahan membuat usapan di punggung Joash. Dengan sengaja pula beberapa kecupan ia hadiahkan di pipi dan leher si lelaki.
"Jangan marah terus, Ash. Aku sedih."
Di balik bahu Rei, Joash tersenyum pahit. Pria itu merutuk diri karena ingin sekali membalas hangatnya pelukan Rei.
"Kamu kenapa? Aku buat salah apa?"
Gigi-gigi Joash merapat, saling menggigit, bergemelatuk. "Cu-kup," ucapnya dengan suara rendah, sebelum akhirnya mendorong Rei, membuatnya harus rela lepas dari pelukan yang nyaman tadi.
Saling menatap, si suami terbahak kala mendapati mata Rei yang memerah dan berembun. Sungguh cakap sekali perempuan itu berlakon. Jika saja Joash belum tahu yang sebenarnya, sudah pasti ia akan percaya jika istrinya memang sedang sedih saat ini.
"Ada ap--"
Lagi, kalimat Rei tak rampung. Si suami sudah lebih dulu berjalan melewatinya. Perempuan itu berusaha mengejar, tetapi ternyata Joash bukan sekadar ingin keluar dari kamar. Sekarang sudah pukul satu pagi dan pria itu kembali pergi meninggalkan rumah.
***
Joash marah. Ia kecewa. Ia kesal. Ia sedih dan semua itu wajar. Pria itu juga merasa wajar jika melampiaskan semua emosi tadi pada sembarangan orang yang ditemui di jalan pagi ini.
Pukul lima pagi, lelaki berusia 34 tahun itu digiring ke kantor polisi karena sudah terlibat perkelahian dengan orang asing. Joash memukuli, nyaris menusuk seorang pengendara sepeda motor di salah satu jalan.
Duduk dengan kepala tertunduk di tempat yang disediakan pihak berwajib, Joash yang akhirnya mengangkat wajah menemukan Naka datang ke kantor itu. Meliriknya dengan sorot mata penuh tanya dan mungkin kesal, suaminya Viona itu segera dipersilakan duduk di hadapan salah satu petugas, di samping korban yang berhasil Joash buat babak belur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
DragosteRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...