Bab 20

1.6K 90 3
                                    

"Rei?" Posisi mereka saling memeluk, Joash memanggil istrinya. "Belum tidur, 'kan?"

"Belum," jawab Rei serak. Sebenarnya, hampir jatuh tidur.

"Aku mau tanya sesuatu?" Pria itu mengusap punggung polos sang istri, lalu menaikkan selimut mereka hingga bahu Rei.

"Soal Abang-abang di warnet tadi?" Rei mengulas senyum. Ia mendongak, menatapi wajah Joash, lalu beralih ke rambut hitam pria itu. "Rambut kamu kenapa, Ash? Habis kena angin topan?"

Joash mengulas senyum. "Habis dijambak sama istri. Dijambak enak."

Rei memutar mata malas. "Tanya apa? Sambil tidur, ya?" Perempuan itu kembali membenamkan wajah di dada sang suami.

"Tadi itu, kenapa? Kamu takut apa?"

Joash bertanya soal sikap Rei saat mereka di minimarket tadi. Sepulangnya dari warnet, berganti shift dengan karyawan, Rei minta dibelikan es krim, maka mereka berhenti di salah satu minimarket.

Selesai dari sana, tak jauh dari parkiran, Rei melihat seorang ibu, membawa dua orang anak. Salah satunya di gendongan dan nyaris pingsan.

Rei melihat ibu itu memanggil-manggil dan berusaha membangunkan anaknya. Rei tahu apa yang terjadi, ia pernah seperti itu. Sering  pingsan tiba-tiba, karena sejak kecil katanya punya kelainan jantung.

Khawatir, ingin menolong, Rei meminta Joash melakukannya. Awalnya Joash menolak, ia mana peduli pada hal semacam itu. Bukan hanya dirinya manusia di sana. Namun, pada akhirnya ia menghampiri ibu itu, menawarkan bantuan, semata-mata karena istrinya menangis memohon.

"Kamu tahu cara menangani keadaan seperti itu. Kenapa enggak kamu yang menghampiri ibu itu? Kenapa minta tolong aku?"

Rei memang hanya menyarankan sesuatu yang lazim dilakukan pada orang yang hampir pingsan, yakni meminumkan teh manis hangat, jika dirasa butuh waktu untuk ke rumah sakit. Namun, bagian tak biasanya, mengapa Rei tidak melakukannya sendiri? Mengapa meminta Joash yang melakukannya?

Tidak langsung dijawab, Joash merasakan dekapan Rei mengerat. Ia semakin bingung.

"Rei?"

"Aku mengantuk, Ash. Capek."

Si lelaki tahu itu kebohongan. Ia mendorong bahu Rei hingga mereka bertatapan. "Jangan jadi istri jadi-jadian, ya? Jangan jadi tukang bohong."

Perempuan itu tak membalas tatapan Joash. "Aku takut."

"Takut sama orang pingsan?"

Rei menggeleng. "Takut ditolak. Takut sama orang asing."

Menumpu kepala dengan satu tangan, Joash melempar tatapan heran dan meminta penjelasan pada si istri.

"Kamu pasti enggak bisa paham. Ini memang aneh."

"Aku bisa mendengarkan. Paham atau enggak, belakangan."

Menarik napas, Rei kembali memeluk Joash agar mereka tak perlu bertatap muka. "Aku ini kurang percaya diri. Terlebih sama orang asing. Mungkin karena aku suka sendirian."

"Aku belum paham."

"Aku suka sendirian karena enggak harus capek mikirin pendapat orang tentang aku."

Joash mulai mendapat titik terang. "Masih belum paham."

"Aku juga enggak paham, Ash. Yang jelas, aku merasa capek tiap kali harus interaksi sama orang asing, apalagi harus ada di keramaian."

Baik. Jadi, itu alasan Rei beberapa kali menghilang dan cukup lama berada di toilet saat hari resepsi mereka.

"Aku juga takut ditolak. Misal, aku yang menghampiri ibu-ibu kemarin. Gimana kalau dia enggak mau aku tolong dan malah suruh aku pergi karena dianggap ikut campur? Kasihan anaknya."

Hening. Joash berusaha mencerna.

"Kamu sering dibandingkan sama Nisa, ya?" tebak pria itu.

Rei memejam. Kenapa juga Joash bisa paham semua ini? "Kami memang sangat beda, Ash. Dia pintar, sedang aku enggak. Dia cantik, ramah, sedang aku sering dibilang judes. Dia tahan kerja berat, sedangkan aku lemah."

Baik. Joash paham. Ia pernah tahu keadaan serupa dengan ini. Terjadi pada salah satu temannya saat SMA. Namanya Tania, seorang siswi pemalu yang tak punya banyak teman. Belakangan diketahui bahwa ternyata Tania itu merasa tertekan dengan keadaan keluarga yang selalu membandingkan Tania dengan sang kakak.

Seseorang bisa mengalami krisis kepercayaan diri hingga menutup diri, bisa disebabkan oleh seringnya mendengar pendapat negatif tentang dirinya dari orang sekitar.

Joash sedikit tahu keadaan ini. Dan memberi nasihat bukan jalan yang ia pilih. Rei bisa saja mengatainya sok tahu. Pria itu hanya bisa membalas pelukan si istri.

"Kalau adik kamu lebih segala-galanya, kenapa aku malah pilih kamu, Rei?"

"Kamu mabuk, mungkin. Atau, aku terlalu beruntung. Atau, karena kamu bertemu aku lebih dulu daripada Nisa."

Lelaki itu berdecak. "Nisa bukan tipeku."

"Oh, iya. Aku percaya." Rei sengaja menggunakan nada mengejek.

"Sungguh. Aku kurang suka yang ceria, ramah, dan terlihat gampang bergaul. Bahaya jika dijadikan istri. Mudah dicuri orang."

Rei mengangkat wajah. "Iya, aku percaya." Perempuan itu tersenyum singkat.

Joash menaruh telapak tangan di dada si istri. "Kamu punya kelainan jantung?"

"Dulu. Sekarang udah jarang kambuh."

"Kalau kambuh, gimana gejalanya?"

"Detaknya jadi super cepat, sesak, lemas, terus pingsan. Dulu biasa kambuh kalau aku kerja berat." Oh, kenapa Rei lupa menggunakan ini sebagai alat untuk membuat Joash semakin iba? Untung sekali pria itu memulai percakapan ini.

"Pantangan?"

"Dulu, kata tukang pijat alternatifnya, enggak boleh makan daging, telur sama capek. Itu aja kayaknya. Sekarang udah enggak pernah kambuh. Udah sembuh kayaknya."

Joash merasa dicurangi. Kenapa ia tak tahu hal sebesar ini. Pria itu memeluk Rei lebih kencang. "Kita cek ke dokter nanti. Memastikan."

"Enggak perlu, Ash. Aku baik selama ini. Tukang pijat alternatif itu udah cukup."

Kepala Joash menggeleng. "Aku bawa kamu ke dokter."

Rei bangun dari tidur. "Jangan. Enggak perlu. Aku enggak mau jadi beban kamu. Aku enggak mau kamu marah karena ini, seperti Bapak dan Ibu. Selama aku masih bisa jalan, bisa ngerjain rumah, kamu enggak perlu buang uang."

Lelaki di sana termangu. Rumit sekali masalah Rei ini. Dan selama ini Joash tak tahu apa-apa? Suami jadi-jadian agaknya Joash ini.

"Ash?"

Raut sedih Rei membuat si pria terpaksa setuju. "Oke. Tapi, kapan pun kamu merasa ada yang salah, bilang ke aku."

"Oke." Rei kembali membaringkan diri di samping Joash. "Apa setelah tahu ini, sayang kamu masih sebesar jagung, Ash? Apa udah mengecil ke biji kuaci?"

Suami-istri itu bertatapan. Rei gemas karena lelaki di depannya tak kunjung bersuara. Tatapan yang diberikan juga tak bisa dibaca.

Belum sempat mendengar suara, getar ponsel di atas nakas menginterupsi. Rei memeriksa, ternyata pesan dari Viona. Memberitahu jika lusa ada acara di rumah Bianca dan mereka diundang.

Merasa butuh mengalihkan topik, Joash merebut ponsel Rei. "Aku boleh cek hape kamu?"

"Mau tahu aku selingkuh sama siapa?"

Tidak menjawab, Joash memeriksa kotak pesan di ponsel itu. Tak ada yang mencurigakan. Riwayat panggilan juga begitu. "Kamu simpan kontak aku pakai nama apa?" Pertanyaan itu muncul begitu saja.

Rei membuat jarak, menarik selimut untuk menutupi tubuh hingga wajahnya. Ia yakin Joash pasti marah setelah ini.

"J Nyenyenye?!" Joash langsung duduk dengan wajah terkejut. "Tega kamu simpan kontak aku begini, Rei?"

"Lucu ... Nye." Dari balik selimut, Rei tersenyum.

Joash menyodorkan ponsel itu pada si pemilik. "Ganti. Atau kamu enggak aku biarkan tidur malam ini."

Fake Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang