Rei mengulas senyum kala dirinya dituntun Bianca masuk ke sebuah toko. Ia, si ibu mertua dan Joash mengunjungi salah satu toko perlengakapan bayi sore ini. Rei rasa sudah waktunya membeli kebutuhan calon anaknya dan Joash.
Tidak berpengalaman dan tak punya bayangan soal apa-apa saja yang harus dibeli dan diperlukan, Rei meminta bantuan Bianca. Beruntung ibunya Joash itu tidak keberatan.
"Yang perlu itu popok, gurita, baju, kaus kaki, kaus tangan, topi, sarung dan gendongan." Bianca merinci barang yang harus mereka buru hari ini.
Joash tampak mengangguk antusias. Belum apa-apa, matanya sudah mengedar ke sana-kemari. Tak sabar.
"Aku enggak tahu yang mana yang namanya kaus tangan, Ma," kata Rei jujur. Pada si mertua yang menggeleng seolah tak habis pikir, perempuan dengan terusan warna biru itu tersenyum malu.
Bianca kemudian mengambil lengan Rei, untuk dikaitkan ke lengannya. "Ikut mama aja. Biar mama yang pilih. Kalau capek, bilang."
Senang, Rei mengangguk.
Perburuan dimulai. Yang paling banyak berdiskusi adalah Bianca dan Joash. Mereka kerap beda pendapat soal warna barang. Bianca bilang beli yang netral, agar tidak salah nantinya. Joash malah ingin membeli dua warna sekaligus. Yang biru jika anaknya laki-laki dan merah muda jika perempuan.
Anak dan ibu itu juga berdebat soal harga. Joash ingin yang paling mahal. Untuk semua item. Gendongan, sarung, popok, kaus tangan dan kaus kaki. Namun, Bianca tidak setuju. Ia ingin yang biasa saja, standard. Harga terjangkau, tetapi kualitas juga bagus.
"Anak bayi itu cepat besarnya, Jo. Nanti, belum tiga bulan, ukuran yang kita beli sekarang udah enggak muat. Kalau mau beli yang mahal, nanti kalau dia udah agak besar."
Pada ucapan ibunya, lelaki berkaus putih itu hanya menggeleng tegas. "Nanti bisa dibeli lagi, kalau ukurannya udah enggak pas. Yang penting, harus yang paling mahal dan paling bagus. Dia ini anak pertamaku, Ma. Harus spesial."
Bianca hanya bisa menggeleng pelan. Tak menyangka jika pemikiran Joash masih saja sempit, walau sebentar lagi akan menjadi orang tua.
"Ash, Mama itu udah pengalaman. Anaknya udah dua. Dibanding kamu yang baru mau punya anak, jelas Mama lebih tahu. Nurut sama Mama, Ash." Rei berusaha menengahi. Bagaimana pun, mereka mengajak Bianca karena merasa wanita itu jauh lebih tahu.
Kening Joash berlipat mendengar itu. Kenapa Rei malah membela ibunya? "Ini yang dihabiskan uang siapa memangnya? Ini uangku, aku enggak keberatan."
Gemas, Bianca mencubit lengan Joash. "Ini bukan soal uangmu ada atau enggak. Ini soal tepat atau enggak. Nurut sama mama! Jangan membantah, atau pulang aja sana."
Diancam demikian, barulah Joash ciut. Lelaki itu mau tak mau bungkam dan menuruti semua ucapan ibunya. Walau sebenarnya tak rela Bianca memilih barang yang harganya bukan yang termahal.
"Kita perlu botol susu, kompeng dan alat makan, enggak, Ma?" tanya Rei saat troli besi yang didorong Joash sudah penuh oleh barang keperluan bayi.
"Kamu memangnya enggak mau kasih ASI, Rei?"
Rei mengangguk. "Tapi, pasti butuh botol susu, 'kan? Siapa tahu aku lagi enggak ada dan dia haus."
Bianca mengamini itu, lalu mulai bergerak menuju rak botol susu. Memilih beberapa, lalu belanjaan mereka pun lengkap.
Saat akan memasukkan botol susu tadi ke troli, Bianca tidak menemukan Joash di dekat mereka. Mengedarkan pandangan sebentar, ternyata anaknya itu tertinggal di rak sepatu bayi.
"Nanti saja kalau mau beli sepatu, Jo. Itu untuk ukuran kaki anak satu tahun." Bianca mengulum senyum saat melihat anaknya menatapi sepasang sepatu biru yang terlihat lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...