"Jadi, gimana pernikahan kamu?"
Seorang pria bernama Yuda meneguk minuman bersoda yang Joash sajikan. Duduk berhadapan di bagian depan warnet, dua teman SMA itu mulai bertukar cerita.
Joash memamerkan senyum cerah. "Tahu enak, dari dulu aku nikah, Yud," sahutnya antusias.
Kebetulan hari ini Yuda datang berkunjung. Sedang bertengkar dengan istri katanya. Jadi, memutuskan untuk pulang terlambat. Joash senang-senang saja, sebab dirinya juga tak mau mati bosan menuggu warnetnya malam ini.
Yuda tertawa saja mendengar pengakuan tadi. Pengantin baru, pikirnya. Semua masih terasa baik. Ombak belum datang. "Enaknya hanya sebentar. Beberapa bulan lagi, siap-siap kapalmu bergoyang kena ombak."
Joash menyipit. Tak setuju. "Istriku enggak cerewet seperti istri situ."
Beberapa saat tadi, Joash mendengarkan curhatan Yuda. Kata pria itu, istrinya selalu saja ingin memancing perang belakangan ini. Soalan kecil seperti Yuda salah taruh sepatu saja bisa menjadi perang besar.
Menurut cerita itu, Joash merasa wajar jika Yuda berkata seperti tadi. Istri temannya itu tampaknya jenis yang cerewet. Berbeda dengan Rei. Jangankan mengomel, bicara saja seperlunya.
Rei bahkan merasa bersalah hanya karena tidak sempat membuatkan makan malam untuk Joash kemarin. Rei tidak protes saat Joash berkata tak akan mempekerjakan asisten rumah tangga. Rei bahkan tak marah-marah saat Joash selalu lupa--sengaja--memangil tukang reparasi mesin cuci.
"Belum kelihatan saja, Jo. Jangan sesumbar." Yuda mengingatkan. Ia senang sekali memengaruhi si pengantin baru. Toh, ucapannya tidak menyesatkan. Cepat atau lambat, semua rumah tangga pasti mendapat jadwal untuk mendapat masalah. Ujian cinta istilahnya.
Joash menggeleng. "Rei itu lain, Yud. Dikasih uang saja, dia malu. Menatapku langsung saja, jarang. Mana berani mengomel dengan suara keras seperti istrimu."
"Istrimu itu masih di tahap kucing. Malu-malu. Lama-lama juga akan jadi singa yang hobi mengamuk. Cuma bisa dijinakkan sama transferan dan ehem."
Lagi, Joash menggeleng ingkar. Ia sangat yakin Rei-nya tak akan demikian. Perempuan itu penurut. Mungkin, jika Joash memintanya lompat ke jurang, Rei pasti akan melakukan tanpa protes.
"Secinta itu sama istrinya, ya? Baguslah? Rumah tangga itu, yang paling penting cinta sama komitmen." Yuda berucap lagi. Seperti lazimnya orang bermasalah. Ia akan jadi lebih bijak saat menasihati orang lain.
"Cinta? Enggak." Joash menjawab terus-terang. Baginya itu bukan masalah.
Gantian, Yuda yang kebingungan sekarang. "Kenapa bisa nikah?"
"Kamu tahu aku didesak Mama dan kakakku. Kebetulan aku tertarik pada Rei. Sesimpel itu. Cinta itu enggak terlalu berpengaruh, Yud. Percayalah."
Lelaki di depan Joash terperangah. Ia tak paham bagaimana bisa seseorang yang tak punya rasa cinta, memutuskan untuk menikah. Rumah tangga itu seumur hidup, apa bisa jika tidak ada cinta di sana? Yuda saja yang saling mencintai dengan istrinya masih kerap kesulitan saling mengalah dan menerima, bagaimana yang tidak?
"Istrimu yang jatuh cinta sama kamu?"
Kepala Joash mengangguk. Dagunya naik. "Cinta mati, sepertinya." Pria itu teringat bagaimana dulu Rei memintanya untuk menjadi suami. Penuh perasaan, penuh rasa harap dan frustrasi.
"Pantas dia sepenurut itu. Jika begini, pantas kamu merasa di awan. Menang kamu, Jo. Menang telak."
Dua alis Joash terangkat. "Aku selingkuhin pun, kayaknya dia enggak akan marah. Rei itu yang terbaik."
Yuda ikut tertawa. Jika begitu keadaannya, jelas Joash merasa bak raja. Perempuan yang jatuh cinta akan memberikan seluruh hatinya. Berkorban pun rela dilakukan. Pantas Joash sesumbar seperti tadi.
"Pesanku, hati-hati. Biasanya, perempuan yang seperti itu, mudah membuat kita jatuh hati balik. Dan kalau itu sampai terjadi, kamu yang akan jadi budaknya."
Sama seperti alasan Yuda memilih pulang terlambat hari ini. Meski sudah sangat lelah dan lapar, pria itu rela menunda waktu istirahat dan makan demi tak berjumpa sang istri. Ia tak mau istrinya sakit kepala lagi saat mereka bertatap muka dan bisa saja berakhir dengan keributan lagi.
"Enggak mungkin," bantah Joash pongah. "Aku enggak seperti kamu, yang bisa jatuh cinta dan tergila-gila sama perempuan. Aku masih bisa pakai logika dan menjadi pengendali."
Joash semakin melebarkan senyum puas kala Yuda tak mendebat ucapannya lagi. Pria itu sungguh merasa beruntung karena perempuan seperti Rei berhasil ia buat jatuh cinta. Dunia dalam genggaman Joash sekarang. Semua bergantung padanya dan ada dalam kuasanya. Seperti kata Rei, Joash adalah raja dan Rei akan melayani rajanya itu sungguh-sungguh, sepenuh hati.
***
"Ash?"
Panggilan itu hanya dibalas lirikan oleh Joash. Pria yang menyandarkan punggung di kepala ranjang itu kembali sibuk pada ponsel. Jarinya bergerak gesit di layar.
"Kamu belum tidur?" Rei menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Jam di nakas menunjukkan sekarang hampir pukul empat subuh.
"Tidur lagi saja, Rei. Masih dini hari." Joash bicara lugas, memberi isyarat bahwa dirinya tak mau diganggu. Gim yang sedang dimainkan lebih penting dari tidur sekarang. Joash butuh konsentrasi.
Rei selesai mengenakan kausnya. Perempuan itu menatapi sang suami yang masih polos. Mereka selesai melakukan rituas pasangan satu jam lalu. Dan sekarang, Joash masih belum tidur, padahal tadi pulang dari warnet pukul dua.
"Ash? Kamu enggak merasa dingin? Nanti masuk angin. Pakai baju dulu." Rei turun dari ranjang. Mengambil celana pendek yang selalu Joash pakai dan kaus rumah warna abu.
"Enggak capek, Ash?" Rei bertanya dengan suara lembut. Perempuan itu duduk di tepi ranjang. Tak mengalihkan tatap dari wajah Joash.
Tampan. Sialan. Bajingan. Rupawan, tetapi sialan. Rei masih marah karena dirinya dibangunkan paksa beberapa saat lalu. Saatnya membalas.
"Ash? Kamu enggak malu aku lihatin?"
Joash melirik sebentar dengan seringai di wajah. "Kamu sudah lihat semuanya, Rei. Aku harus malu soal apa?"
Rei meraih ujung kaki Joash. Memasukkannya ke lubang kaki celana. "Angkat bentar, Ash." Ia kesulitan menaikkan kain itu hingga pinggang Joash karena si pria tak mau beranjak sedikit pun.
"Nanti, Rei." Joash mengumpat. Konsentrasinya pecah, heronya dalam game diserang.
"Nanti kamu sakit, Ash. Tidur dulu, ya?" Rei membujuk sepelan mungkin. Satu tangannya mengusap kaki Joash. Berharap dapat perhatian.
"Nanti, Rei!" Joash menarik kakinya, duduk bersila. Nadanya meninggi.
Menjijikan. Demi gim, bahkan rela tak mengindahkan penampilan. Rei ngeri melihat kondisi Joash saat ini. Harusnya difoto, lalu disebar, agar ditangkap polisi. Ini polusi mata.
"Aku saja mengantuk, Ash. Konon kamu yang sudah seharian bekerja. Istirahat, Ash. Besok lagi main gim."
Joash menakan tombol pause. Ia menatap garang pada Rei. Tangan pria itu terangkat, telunjuknya mengarah ke sisi lain ranjang, tempat tadi Rei berbaring. "Per-gi. Ti-dur." Ia beri penekanan di setiap kata.
Mata Rei memerah. Bukan karena menangis. Ia memang sengaja tak berkedip sejak tadi. "Nanti ... kamu sakit."
"Aku bisa mengurusi diriku. Jangan menganggu. Jangan mengaturku, Rei! Pergi tidur!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...