Bab 29

1.4K 100 4
                                    

"Mama sudah duga ini akan terjadi." Bianca melempar sorot lelah pada putranya yang duduk di samping ranjang rawat milik si menantu. "Kamu itu selalu mudah marah. Apa-apa harus diselesaikan dengan adu pukul."

Joash tak berniat menyanggah atau membela diri. Mata sayunya setia mengunci tatapan pada Rei yang masih tertidur. Pria itu lelah.

Setelah harus semalaman menginap di kantor polisi, dengan jaminan, ia bisa keluar dari sana pagi ini. Dan tempat pertama yang dituju adalah rumah sakit tempat Rei dirawat.

Menurut penjelasan Viona, Rei mengalami shock. Mungkin karena teriakan dan kemarahan Joash kemarin. Sesuatu yang lucu, 'kan?

Saat harusnya ia membenci perempuan itu dan meluapkan semua rasa marah dan kecewa, Joash malah harus merasakan cemas yang teramat juga perasaan bersalah sekarang.

"Rumah tangga itu memang ada naik-turunnya, Jo. Jika perkara kecil saja kamu sampai seperti ini, bagaimana rumah tanggamu bisa bertahan?"

Ujung bibir Joash terangkat hambar. Perkara kecil katanya? Bianca tidak tahu saja apa yang sudah Rei lakukan. Itu bukan masalah sepele. Istrinya itu sudah mempermainkan hati dan perasaannya.

"Selesaikan masalah kalian berdua. Mama pamit dulu. Esok datang lagi bersama Kakakmu."

Berdua saja dengan Rei di ruangan itu, Joash merasa sesuatu di ujung matanya terus mendesak keluar. Tak ingin menjadi cengeng lagi, pria itu memilih menaruh kepala di samping lengan Rei, di tepian ranjang. Menatapi jemari kecil istrinya dan cincin pernikahan yang tersemat di sana dengan perasaan campur aduk.

Ini persimpangan. Joash harusnya memilih langkah selanjutnya, 'kan? Memilih jalan yang paling masuk akal, yakni bercerai. Rei tidak mencintainya, jadi untuk apa mereka hidup bersama?

"Rumah tangga itu enggak perlu cinta. Cukup logika dan kemampuan mengendalikan."

Ucapan sesumbarnya pada Yuda dan Rudi terngiang. Pria itu tersenyum getir, lalu memejamkan mata.

Baru beberapa saat menutup mata, Joash merasakan ada pergerakan di ranjang itu. Rei yang sudah bangun menjadi hal yang ia lihat setelah menegakkan punggung.

Perempuan itu menatapnya agak lama, sebelum menggeser selimut lepas dari tubuh. Rei berusaha meraih kantung infus, masih dengan mulut terkatup.

Saat gadis itu sudah akan turun, Joash menahan lengannya.

"Aku mau ke toilet." Rei menarik diri, menurunkan kedua kakinya dari ranjang. Berjalan tertatih menuju toilet seorang diri.

Tidak lama Rei di sana. Saat menarik daun pintu membuka, perempuan itu menemukan Joash sudah berjongkok di sana. Mereka berpandangan sejenak, lalu Rei memilih mengalihkan tatap lebih dulu untuk kemudian berjalan kembali ke ranjang.

Rei berbaring. Melirik suaminya yang masih berdiri di depan pintu toilet. "Kalau mau bicara, duduk di sini. Kalau enggak, pulang aja, Ash."

Bedebah. Joash menahan diri untuk tidak berteriak lagi. Ia tak ingin si istri terkejut dan pingsan lagi.

Joash berdiri, bersandar di dinding dekat toilet. Ia bersedekap, menatap lurus pada Rei. "Aku mau dengar kebenarannya dari mulut kamu yang enggak sedang mabuk."

Rei menatap sebentar. Kemudian, seringan saat menceritakan kegiatan apa saja yang ia lakukan di rumah saat Joash pergi bekerja, pengakuan itu mengalun dari bibir si perempuan. 

"Pertama. Aku mau menegaskan dan mengingatkan kamu. Kita menikah, aku atau kamu memang tak terlibat perasaan apa pun, selain keadaan saling membutuhkan."

Joash menggigit bibir dalamnya kuat-kuat. Tenang sekali nada bicara perempuan di sana. Apa sungguh tak merasa bersalah sedikit pun?

"Aku enggak harus merasa bersalah, karena sejak awal, kamu yang menyimpulkan sendiri. Aku hanya menawarkan pernikahan dan kamu setuju karena kamu perlu aku sebagai penghangat ranjang. Keadaan kita begitu."

Rahang si suami bergerak-gerak. Ia mengepalkan tangan erat. Rasanya seperti diinjak-injak sekarang. Memalukan dan menyedihkan.

"Kedua. Kalau pun sekarang kamu tahu kalau aku enggak cinta sama kamu. Apa bedanya? Keadaan kita masih sama. Aku masih akan tetap melayani kamu seperti dulu."

Joash tidak tahan. Pintu kamar mandi di ruangan itu menjadi sasaran amarahnya. Lelaki itu menendangnya, memaki ke sana, memunggungi Rei.

"Maaf kalau kamu merasa aku berbohong. Cuma itu yang bisa aku katakan sekarang."

Tak lagi mendengar suara selain deru napasnya yang cepat dan berat, Joash membalik tubuh. Rei sudah terpejam. Seketika dirinya digelayuti perasaan cemas itu lagi. 

Kaki lelaki itu melangkah cepat ke sana. Menyentuh dahi Rei hati-hati. "Rei?" Apa istrinya terkejut lagi? Karena tendangan tadi? "Rei? Kamu sadar?"

Si istri membuka mata. Ia menahan senyum saat melihat Joash menatapnya khawatir. "Enggak ada yang berubah, Ash. Aku juga tahu kalau pengakuan rasa sayang kamu kemarin itu cuma bohong."

"Kamu merasa ada yang sakit? Karena aku nendang pintu tadi? Kamu terkejut?"

Kepala Rei menggeleng pelan. "Aku cuma sedikit lemas dan pusing. Mau tidur lagi. Masih ada yang mau kamu bicarakan?"

Tak menyahut, lelaki itu menggeleng lemah. Membiarkan Rei kembali memejam, sedangkan dirinya tetap di bangku samping tempat tidur, menatapi perempuan itu.

Menjagai Rei si istri jadi-jadiannya. Menjaga perempuan yang sudah berhasil membuatnya patah hati.

Fake Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang