Bab 10

2K 105 0
                                    

"Rei?"

Haduh! Gawat. Kenapa Joash pulang saat Rei belum menyiapkan apa-apa untuk makan malam? Rei bahkan belum mandi? Apa dia bau keringat?

Pusing dengan semua pertanyaan itu, Rei yang memang wajahnya menghadap pada sandaran sofa memilih memejam senatural mungkin. Sepertinya, ide ketiduran tidak buruk.

"Rei?"

Joash meletakkan plastik putih yang dibawa di meja. Pria itu menekuk lutut di samping sofa yang istrinya tempati. Menyentuh lengan perempuan itu lembut.

"Mama membicarakan apa sampai kamu ketiduran begini?"

Rei merasakan pelipisnya dikecup. Joash tahu Mamanya berkunjung? Dari mana? Apa Bianca yang memberitahu?

"Tidur di sini nyaman, Rei?" Joash melirik ke arah kaki Rei yang tertekuk. Ia takut perempuan itu akan merasa pegal saat bangun, alih-alih segar kembali.

Nyaman, seru Rei dalam hati. Asal Joash segera pergi, semua akan baik-baik saja. Kenapa pria itu pulang secepat ini? Rei bahkan belum mengambil jemuran di belakang. Bagaimana jika Joash protes atas terbengkalainya semua pekerjaan rumah itu dan menjadikan hal tersebut sebagai alasan menceraikan?

Sial. Apa ide untuk pura-pura tidur seharusnya tidak dilakukan.

"Kita ke kamar, ya? Aku takut kamu enggak nyaman."

Bangun sekarang sama saja mengakui kebohongan. Tak punya pilihan, Rei pasrah saja saat tubuhnya dibopong Joash. Pura-pura menggeliat saat sudah berbaring di ranjang, Rei mengambil ancang-ancang untuk bangun.

"Shhut." Joash mengusap kepala istrinya. "Tidur lagi, Rei. Tidur lagi. Maaf aku mengganggu."

Rei meringkuk di bawah selimut. Ekspresi pulasnya dibuat semeyakinkan mungkin. Joash tidak marah, artinya lanjutkan saja. Mungkin setelah beberapa belas menit, baru Rei akan bangun. Pura-pura bangun maksudnya.

***

Sore tadi, Joash memang sengaja pulang lebih awal rupanya. Warung internetnya ia titipkan pada salah satu teman yang memang punya waktu senggang.

Perihal Joash tahu jika Mamanya berkunjung, itu diberitahu sendiri oleh Bianca.

"Maaf." Rei menatap menyesal pada hidangan makan malam mereka. Hanya nasi putih, saus sambal botol dan lima potong ayam goreng. Joash yang membawanya tadi sore.

"Enggak pa-pa, Rei. Ini cukup bikin kenyang." Joash mengunyah dengan lahap.

Awalnya hanya pura-pura, Rei malah sungguh-sungguh ketiduran tadi. Bablas hingga pukul tujuh. Perempuan itu bahkan baru selesai mengangkat jemuran beberapa waktu lalu.

"Harusnya aku buatkan sayur. Bukan cuma ayam." Rei memisahkan daging ayamnya dari tulang dengan wajah tak bersemangat.

Joash berdecak. Ia meneguk air, lalu menatap istrinya. "Ini cukup, Rei. Berhenti memasang wajah bersalah, tolong. Jelek sekali." Ini hal sepele. Makan hanya dengan ayam goreng itu biasa. Tak makan sayur satu hari, Joash tak akan mati.

Mengangguk saja, Rei sengaja menarik tangannya dari piring. Menghabiskan air dari gelasnya, lalu menatapi piring Joash.

"Buka mulut kamu?" Joash mengambilkan sepotong daging dari piringnya. Menyuapi Rei yang tampak tak berselera. "Kunyah, Rei. Makan."

Menggerakkan giginya pelan-pelan, Rei meminta maaf dalam hati pada ayam di piringnya sendiri. Ayam goreng memang tak pernah mengecewakan. Sayang, ia tak bisa melahap mereka dengan rakus malam ini. Ia harus terlihat menyesal di depan Joash, 'kan?

"Kamu belanja apa kemarin? Laptop?" Joash berusaha mengalihkan topik. Tak hanya ayam, ia juga mulai menyuapkan nasi pada Rei. Dengan tangannya sendiri.

Fake Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang