"Ash. Kamu enggak pergi ke warnet? Ini udah jam sembilan."
"Ash?"
Saat membuka mata, hal pertama yang Joash lihat pagi ini adalah istrinya. Rei yang tengah mematut diri di cermin. Ia tidak bermimpi, suara tadi memang milik Rei.
Perempuan itu baru selesai mandi sepertinya, karena rambut sepunggung di sana tampak sedikit basah.
Turun dari ranjang, Joash langsung memeluk si istri dari belakang. "Bagus sekali pemandangan pagi ini. Baru bangun, langsung dikasih lihat bidadari."
"Dipanggil dua kali, langsung bangun." Rei menatap wajah bangun tidur Joash lewat cermin. "Aku kenapa enggak bisa gitu, ya?"
Joash mengeratkan belitan tangan. "Enggak usah dipanggil juga bakal bangun. Cukup lihat kamu, pasti bangun."
Merasakan maksud si pria, Rei hanya bisa balas menatap. Pria di belakangnya tersenyum penuh arti, ingin sekali Rei pukulkan sesuatu ke wajah itu. Sayang, terlalu tampan.
"Kamu sendiri? Dibangunkan, pasti susah. Tapi, bisa bangun pagi. Jam segini udah mandi, bangun jam berapa tadi?"
"Jam lima. Kan sebelum tidur udah ingat mau bangun jam berapa."
Lelaki di sana mengangguk saja. Wajahnya masih betah bertengger di ceruk leher Rei.
"Kamu udah kepikiran mau bulan madu ke mana?" Si lelaki sudah memutuskannya semalam. Mereka akan pergi bulan madu. Mengingat, kemarin malam ia juga sudah membuat sang istri sedih. Anggap saja ini permintaan maaf.
"Aku enggak mau ke mana-mana, Ash. Di sini atau di mana, sama aja, 'kan? Gitu-gituan juga." Ada kejujuran di sana.
Selain memang bukan tipe yang suka jalan-jalan, Rei masih tak mengerti mengapa setiap pengantin seperti harus melakukan bulan madu. Pergi ke tempat jauh, mahal, hanya untuk melakukan yang itu-itu lagi.
Dahi Joash berlipat. "Enggak mau ke mana gitu? Pantai? Gunung sekalian?"
Rei menggeleng. "Kamu cari uangnya susah. Harusnya enggak dibamburin. Sayang."
"Serius kamu?" Joash membalik tubuh perempuan itu agar mereka berhadapan. Menilik ekspresi di wajah itu, kemudian mengangguk saja.
"Kamu mau mandi dulu atau sarapan dulu? Jam sepuluh harus ke warnet, 'kan?" Daripada tidak ada aktivitas, Rei menyisir helai rambut Joash yang berantakan dengan tangan.
"Aku enggak kerja dulu hari ini."
Tangan Rei berhenti bergerak. "Kenapa? Kamu sakit?" Ia meneliti tubuh Joash. Tidak ada yang salah. Kulit leher pria itu juga tidak panas saat Rei sentuh.
"Aku mau menemani kamu seharian ini. Kita ini pengantin baru. Biar warnetnya libur dulu hari ini."
"Yakin? Sayang uangnya, Ash." Seharian bersama Joash , belum apa-apa, Rei sudah merinding kengerian.
"Satu hari saja, Rei. Hitung-hitung, ini permintaan maafku karena udah meninggalkan kamu kemarin malam."
Haduh! Rei ingin sekali mengumpat sebenarnya. Namun, tak mungkin itu dilakukan. Jadi, perempuan itu berpura tersenyum.
"Kamu mau kita melakukan apa hari ini?"
Joash pasti pura-pura bertanya. Rei bisa membaca arti senyuman suaminya barusan. Sudah pasti lelaki itu merencanakan hal yang tak jauh-jauh dari kegiatan bersenang-senang.
"Aku?" Rei menjeda ucapan saat dirinya dinaikkan Joash ke atas meja rias. "Setelah kamu sarapan, aku mau potong rumput yang di belakang, Udah a--agak tinggi."
"Lakukan itu besok saja. Kita keluar, jalan-jalan, hari ini." Tak mendapat protes, Joash meneruskan aktivitas tangan dan bibirnya.
Rei mendongak. Berpura menikmati, walau setengah hati ingin menginterupsi. Apa Joash belum puas? Mereka sudah melakukannya berulang kali, bahkan sebelum menikah. Lagipula, ini masih pagi. Harusnya mereka sarapan, mengisi tenaga, bukannya menghabiskan energi.
"Ma--mau ke mana, Ash?"
Mendengar namanya dipanggil seperti barusan, Joash tersenyum simpul. Ia suka melihat Rei kesusahan seperti sekarang. Pria itu menegakkan punggung untuk mengecup bibir sang istri, lalu kembali pada aktivitasnya di bawah sana.
"Ke mana saja. Kamu mau belanja? Mau beli buku?"
Jemari Rei mencengkram sudut meja yang bisa ia gapai. Rutukan dan umpatan yang tadi dialamatkan pada Joash, berbalik padanya. Rei ingin memaki diri sendiri. Nafsu memang bisa membuat manusia cetek pengendalian diri hilang akal sehat, bahkan rela membuang harga diri.
Rei tersengal dan melihat Joash kembali berdiri tegak. Tatapan mata pria itu langsung bisa membuat ia paham. Ini belum berakhir.
"Kamu harus mandi lagi, Rei. Bukan masalah, 'kan?"
Bajingan ini, rutuk Rei dalam hati. Namun, tubuhnya malah melakukan hal lain. Dengan kaki yang sudah polos--hasil perbuatan Joash--ia menarik pria itu agar mereka semakin dekat.
Tawaran untuk bersenang-senang oleh seorang pria rupawan. Rei bersedia disebut murah karena pada akhirnya kembali pasrah mengikuti kemauan Joash.
***
Tidak jadi jalan-jalan karena Joash yang harus mengecek keadaan warung internetnya yang mengalami sedikit masalah, sore harinya Rei memutuskan untuk pergi sendiri. Ke salah satu toko yang menjual komputer.
Perempuan itu diberi uang oleh Joash. Untuk dihabiskan, terserah Rei ingin membeli apa.
Bagi Joash itu biasa saja, Rei malah merasa amat terhina. Kenyataan bahwa ia diberi uang usai diajak tidur, rasanya campur aduk. Perempuan itu marah, kesal, sedih, kecewa, tetapi juga entah.
Sebenarnya ini bukan masalah. Jika saja pernikahan mereka dilatar belakangi cinta, mungkin Rei akan menganggap uang sejumlah 10 juta ini adalah tanda kasih sayang. Namun, bukan begitu hubungannya dengan sang suami.
Joash hanya alat. Rei tidak menaruh rasa apa pun padanya, terlebih cinta. Menerima apa pun dari pria itu sama saja dengan mencuri, merampas, merampok, tetapi dengan cara yang lebih sopan.
Meratap atau marah-marah adalah sia-sia. Rei menelan mentah-mentah semua perasaan tadi. Ia menebalkan wajah dan masuk ke dalam salah satu toko.
Perempuan itu ingin membeli sebuah laptop. Joash punya satu, tetapi itu untuk bekerja. Tak mungkin mereka berbagi. Rei sudah punya keyboard wireless sebelum ini, tetapi rasanya komputer jinjing lebih efektif untuk hobinya, yakni menulis novel.
Memilih-milih dengan pengetahuan terbatas, beberapa jam kemudian Rei meninggalkan toko. Yang dimau sudah didapat, saatnya pulang dan kembali berlakon sebagai istrinya Joash.
Kira-kira, Rei harus melakukan apa untuk kompensasi atas laptop ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...