Gelap. Rei membiarkan lampu di kamar itu padam sejak tadi. Hanya cahaya bulan dan beberapa lampu dari luar yang masuk melewati kaca jendela yang membuat suasana di sana sedikit temaram.
Rei, masih dengan gaun resepsinya, duduk memeluk lutut di atas ranjang yang rapi dan wangi. Menghadap pada jendela yang menyuguhkan pemandangan jejeran tanaman hijau yang Rei tak tahu apa namanya.
Rei merasa dirinya sama dengan tanaman dalam pot itu. Milik Joash, tinggal di rumah Joash dan dirawat.
Hari ini mereka resmi menikah, tetapi Rei malah merasa dirinya persis seperti tumbuhan di luar sana. Peliharaan.
Bermuram di hari yang seharusnya ia isi dengan senyum dan tawa, semua itu bukan karena saat ini Joash sedang tidak bersamanya. Perempuan itu merasa hampa mendiami relung hati, bukan karena suaminya lebih memilih pergi mengurusi pekerjaan dan berpesta bersama teman-teman. Perempuan itu hanya merasa demikian dan memang sewajarnya merasa begitu.
Pernikahan. Pernah ada bayangan ke arah sana, tetapi perlahan memudar karena Rei harus lebih memprioritaskan keberlangsungan hidup, ketimbang urusan asmara.
Tidak seberuntung Nisa yang bisa mendapatkan pekerjaan bagus, walau hanya lulusan SMA, Rei terjebak di pekerjaan yang menurut ayah dan ibunya sangat memalukan. Waiters di kafe, tukang bersih-bersih di sekolah, penjaga kantin di salah satu kampus dan yang terakhir, yang sampai membuat Reyan menyebutnya anak tidak berguna, tukang cuci piring di rumah makan.
Sudah kerepotan dengan kebutuhan memenuhi makan dan biaya lain, Rei sempat punya keinginan untuk tak menikah. Ia ingin melajang, seumur hidup. Sampai sebuah ancaman dari Reyan datang dan membuat Rei mau tak mau harus mencari laki-laki yang bersedia menikahinya.
Pernikahan ini bukan harapan Rei, melainkan sesuatu yang ia butuhkan. Maka, bukan hal aneh jika saat ini perasaannya malah kelabu, alih-alih bersuka cita.
Masih menatapi ke luar jendela, ia menyungging senyum perih kala ingatan soal acara siang tadi berkeliaran di kepala. Semua orang tampak bahagia, terkhusus Reyan dan Sasa.
Orang lain pasti mengira senyum dan tawa dua orang itu selama di resepsi tadi adalah ungkapan bahagia karena sudah berhasil menikahkan seorang putri. Nyatanya, Rei yakin, tidak benar-benar demikian. Orang tuanya pasti senang karena hal lain.
Rei benci ini. Setiap kali mengingat Reyan dan Sasa, rasa marah pasti akan meradang. Berubah menjadi dendam, lalu pada akhirnya, Rei merasakan hatinya seolah diiris.
Perempuan itu mengusap wajah. Seandainya Joash ada di sini, ia sudah pasti akan mengajak pria itu bersenang-senang. Mengalihkan rasa sakit yang ada bersamanya. Namun, Rei hanya sendiri di sini. Di kamar pengantinnya, saat harusnya ia dan sang suami bermesraan.
Tak mau semakin mengasihani diri sendiri, Rei bangkit dari ranjang itu. Ia harus mandi dan mengganti gaun super berat itu. Syukur-syukur, rasa penat dan sesak di dada juga bisa turut sirna setelahnya.
Usai membersihkan diri, Rei berkeliling rumah. Menyalakan semua lampu di sana, memeriksa tiap sudut dan seluk di hunian barunya. Sedikit berantakan dan berdebu. Agaknya, rumah ini sudah lama tidak Joash tempati.
Kebetulan butuh pelarian, Rei mendapat ide. Perempuan itu mengikat rambutnya. Mencari keberadaan sapu, alat pel, pengki, kemoceng, dan lain sebagainya. Ia akan membersihkan bangunan itu. Hitung-hitung kompensasi pertama untuk Joash karena sudah menepati janji untuk menikahinya.
***
Joash yang baru selesai memarkirkan mobil di halaman rumah mengernyitkan dahi saat menemukan ada beberapa kantong sampah teronggok di dekat pagar.
Pria itu turun, membawa langkah memasuki teras, lalu berhenti di pintu rumah yang terbuka. Harum menyapa hidung. Lantai di bawah kakinya terlihat berkilau terkena sinar lampu.
Arloji di tangan menunjuk pukul dua dini hari. Joash melipat dahi.
"Rei?" Sepatunya ia tanggalkan, takut mengotori ubin yang cerah cemerlang.
"Di belakang, Ash. Sebentar."
Ada perasaan lega. Ternyata, rumahnya tak habis dijarah. Tak lama, sosok istrinya muncul. Dua tangan perempuan itu basah dan kulit jemarinya terlihat berkerut.
"Kamu belum tidur?"
Rei menggeleng. "Kamu mau mandi dulu? Udah jam berapa ini?" Ia terkejut saat mendapati penunjuk waktu di dinding. "Langsung tidur aja, deh."
"Kamu melakukan apa?"
"Bersih-bersih. Udah mau selesai. Tinggal beberapa gorden lagi yang perlu dijemur."
Joash termangu dengan mulut terbuka. "Bersih-bersih sampai dini hari?" tanyanya tak percaya.
"Aku enggak bisa tidur."
Pengakuan itu langsung membuat Joash serasa dicubit, di ulu hati. Pria itu menarik istrinya ke dalam pelukan.
"Maaf, ya. Aku malah mengurusi pekerjaan, saat harusnya ada menemani kamu." Pria itu juga menyesal karena sudah menyetujui ajakan Rendi untuk mengadakan pesta di salah satu kelab malam.
"Bukan masalah, Ash." Rei berucap tenang.
Ia sungguh tak mempermasalahkan itu sebenarnya. Namun, karena Joash memberi celah, maka memanfaatkannya bukanlah sesuatu yang salah.
"Kamu ganti parfum, ya, Ash? Baunya enak, ya? Kayak ada buahnya gitu."
Si lelaki langsung mengurai dekapan. Ia gelagapan. Di kelab tadi, ia menari dan duduk dengan beberapa perempuan temannya Rendi. Yang Rei baui pasti parfum perempuan-perempuan itu.
"Ini apa, Ash?" Terima kasih pada dewi keberuntungan. Rei menemukan noda merah berbentuk bibir di kemeja putih Joash. Di depan, tepat di dada.
Mata mereka bertemu, Joash meraih wajah Rei. Membawa istrinya itu dalam sebuah ciuman hangat. "Maaf." Pria itu mengatakannya berulang kali.
Si istri tidak membalas tatapan Joash saat mereka sudah berjarak. Ia menunduk, meremas pelan kain kemeja suaminya.
"Ini--ini rencananya Rendi." Menangkap wajah sedih Rei, Joash langsung putar otak. "Dia mau ngerjain aku. Dia suruh salah satu temannya untuk bikin tanda ini. Katanya, biar kamu cemburu."
Mengangguk-angguk, Rei memalingkan wajah dari Joash. Lelaki itu memegangi bahunya, membuat mereka saling menatap lagi.
"Ini enggak seperti yang kamu duga, Rei. Aku enggak selingkuh. Ini cuma keisengan Rendi. Cuma dibikin tanda, enggak benar-benar dicium." Joash ketar-ketir. Tatapan Rei sulit dibaca. Perempuan itu percaya atau tidak dengan cerita karangan barusan?
Kepala Rei naik-turun teratur. Ia membuat senyum yang tak sampai ke mata. "Kamu mau langsung tidur? Udah makan, Ash?"
Haduh! Joash jadi semakin merasa bersalah. Pria itu mengangguk sebagai jawaban.
"Ya, udah. Kamu tidur duluan, ya. Aku masih mau selesaikan yang di dapur dulu." Rei yang sudah berbalik, tak jadi melangkah karena lengannya ditarik Joash.
"Dingin, Rei. Besok lagi aja diterusin. Kamu juga harus istirahat." Ia tak terbayang sesedih apa istrinya saat ini. Ditinggal saat malam pertama, harus membersihkan rumah sendirian dan mendapati suami pulang dengan bau parfum dan cap lipstick milik perempuan lain.
Lagi, Rei berusaha tersenyum. "Kamu mau ditemani tidur, ya?" Perempuan itu menutup pintu rumah mereka. Ia menggandeng lengan si suami menuju kamar. "Tapi, kemejanya ganti, ya, Ash." Perempuan itu bicara seraya memunggungi Joash, merapikan selimut dan bantal. "Aku jadi enggak suka sama wangi parfum tadi."
Menatapi punggung sempit Rei, Joash menghela napas berat. Ia menyesal. Walau tidak terang-terangan marah atau menangis, ia yakin istrinya itu sedang sedih saat ini.
Joash buru-buru membuka kemeja putihnya dan membuang benda itu asal, sejauh mungkin, mengggantinya dengan kaus rumah. Ia mendekap Rei dari belakang. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf. Malam pertama kita malah jadi kenangan buruk untuk kamu."
Rei menggeleng. "Bukan masalah, Ash." Ia berbalik. Membaui kaus hitam yang melekat di tubuh Joash. "Lebih suka bau yang ini." Ia memeluk pria itu. Tidak dilihat Joash, bibirnya menjungkit sedikit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...