Di dalam kamar utama rumah itu, Rei memilih berbaring di lantai beralaskan selimut, ketimbang menghuni ranjang. Perempuan yang wajahnya terlihat layu itu beberapa kali mengubah posisi tidur. Bukan karena tidak nyaman karena harus tidur di ubin. Namun, Rei tengah bingung.
Mengapa ia bisa hamil?
Tadinya, Rei sedang ada di supermarket. Belanja bulanan, membeli kebutuhan rumah. Namun, tiba-tiba saja ia merasa pusing hingga tak sadarkan diri. Saat bangun, Rei sudah ada di rumah sakit, ditemani Joash, Bianca dan Naka.
Yang paling mengejutkan, ya, itu. Seorang dokter memberitahu Rei jika di dalam perutnya sekarang, tengah bersemayam janin berusia dua bulan.
Mengapa bisa? Rei minum pil kontrasepsi, 'kan? Memang, dokter sudah menjelaskan bahwa keadaan ini bisa saja terjadi. Terlebih, Rei sendiri mengaku sempat beberapa kali lupa menelan pilnya. Namun, tetap saja. Kenapa?
Ini masalah besar. Rei tidak ingin ada bayi dalam rumah tangganya. Rumah tangganya ini saja adalah sebuah lelucon. Bagaimana bisa ia melibatkan orang lain? Seorang anak pula?
Yang paling parah dari semuanya, keadaannya yang berbadan dua sudah diketahui oleh Bianca. Jika hanya dirinya dan Joash yang tahu, mungkin memilih menggugurkan si janin sebagai solusi akan bisa dilakukan. Sekarang? Mana bisa itu dilakukan?
Sakit kepala dengan kesialan yang agaknya belum mau pergi dari hidup, Rei bangkit dari posisi tidur. Duduk dengan memeluk lutut, ia menatap lurus ke dinding kamar.
Sekarang apa? Harus bagaimana? Joash gencar selingkuh, ia malah hamil. Beban semakin berat saja.
Mendesah lelah, Rei menyembunyikan wajah di antara lutut. Tak lama ia mendengar suara pintu terbuka. Sengaja, perempuan itu tak mengubah posisi.
Ada lebih dari sepasang langkah kaki yang datang. Saat Rei sudah mengangkat wajah, Bianca langsung menghambur, memeluknya. Ibunya Joash itu menangis, seperti di rumah sakit tadi.
"Kamu enggak sendiri, Nak. Mama janji akan jaga Rei dan cucu mama."
Oh, sial. Menjaga katanya. Tidakkah Bianca tahu bahwa Rei hanya akan semakin susah karena anak itu?
Menaikkan pandangan, Rei bertatapan sebentar dengan Joash. Suaminya itu memalingkan wajah, Rei mendapati Viona juga sudah ada di sana. Seluruh keluarga Joash di sini, untuk apa?
"Aku bisa sendiri, Ma. Aku enggak mau merepotkan."
Bianca yang wajahnya basah dan diselimuti sesal menggeleng. "Mama dan Viona akan bantu kamu. Sekarang, kamu istirahat dulu. Kenapa kamu tidur di bawah sini?"
"Dia jijik nempatin ranjang yang aku pakai tidur sama pacar-pacar aku." Tak merasa salah, Joash menerangkan. Pria itu mengaitkan alis kala semua anggota keluarga melempar sorot jijik padanya.
Rei berdiri. "Aku bisa istirahat di kamar yang dekat dapur, Ma. Kalau Joash mau pakai kamar ini, biasanya aku di sana."
Bianca dan Viona geleng-geleng kepala. Apa Rei sebegitu bodohnya?
"Kamu boleh cinta sama laki-laki, tapi harus tetap punya logika, Rei." Viona yang gemas angkat suara. "Apa yang Joash lakukan itu salah. Kamu harusnya protes dan marah. Kamu berhak."
Iya. Berhak. Kalau Rei itu istri sungguhan, batin Joash.
Rei tak menyahut. Ia mengusap wajah. Rasanya seluruh tenaga di tubuhnya hilang entah ke mana. Ia lelah dan ingin sekali tidur.
"Aku udah kasih tahu ini ke Mama. Aku juga harus beritahu kamu." Joash menyimpan tangan di saku, menatap Rei lurus. "Aku mau menikah lagi. Namanya Bela. Dia cantik dan dia sudah setuju."
"Joash!"
"Jo!"
Dua teriakan sarat kemarahan itu dilontarkan bersamaan oleh Bianca dan Viona. Sedangkan Rei, hanya terdiam di tempat.
"Aku mau punya dua istri. Dia juga akan tinggal di rumah ini. Aku rasa kamu juga enggak keberatan dengan itu, 'kan, Rei?"
Masih mematung, Rei tak sekali pun melepas tatap dari suaminya. Tak cukup selingkuh dan menabur benih di sana-sini, pria itu masih punya banyak tingkah rupanya. Menikah lagi? Beristri dua? Seperti lagu saja.
Lalu, setelah tahu fakta itu, apa yang harus Rei lakukan? Sekiranya, apa yang akan seorang istri lakukan jika tahu suaminya akan menikah lagi? Ayolah, otak! Bekerja. Rei sedang ada di antara keluarga Joash sekarang.
Bukannya mendapat ide, Rei malah didatangi mual. Tiba-tiba sekali perut perempuan itu bergejolak. Ia menutup mulut dengan tangan, kembali berjongkok di lantai.
Rei ingin sekali tertawa sampai berguling-guling, kala secepat kilat Joash malah datang menghampirinya. Memegangi punggung, mengusap pelan di sana.
"Ma--maf. Mual, Ash. Mau muntah." Suara perempuan itu dibuat semenyedihkan mungkin.
Joash memijat pelan tengkuk Rei. Ia seketika terenyuh kala perempuan itu memegangi perut. Di sana, bukan hanya ada organ dalam lagi. Di sana, ada anak Joash sekarang.
Rei terlonjak pelan, tak bisa menahan, sesuatu keluar dari mulutnya. Tak langsung membasahi selimut di bawah pijakan, tetapi lebih dulu tumpah di tangan Joash.
Yang Rei muntahkan liur dan air. Ludah. Tertampung di telapak tangan Joash. Apa ini bisa disebut Rei meludahi Joash?
Perempuan itu meraih kemeja depan suaminya, memegangnya kuat hingga meninggalkan gurat kusut di sana. Kembali ia mengatur mimik. "Ma--maaf, Ash. Mau muntah."
Joash seolah tak punya rasa jijik. Pria itu membersihkan tangannya ke selimut, lalu menggulung kain tebal itu. "Kak, tolong buatkan teh."
Rei merapatkan wajah ke dada bidang Joash saat pria itu membawanya dalam gendongan. Rei butuh tersenyum sebentar.
Joash ini aneh, 'kan? Tadi, dengan lantang berkata akan menikah lagi. Membuat Rei sampai bingung harus menanggapi seperti apa. Sekarang, pria itu malah bersikap sangat peduli. Repot-repot pula menggendong dirinya ke kamar yang di dekat dapur.
"Baring aja dulu. Kamu lapar?"
Kepala Rei menggeleng pelan. Ia memandangi Joash agak lama. "Ma--maaf, Ash. Aku enggak tahu kenapa aku bisa hamil."
Si suami menaruh tangannya di kening Rei. Mengusapkan ibu jarinya lembut di sana. "Berdoa aja anakku enggak akan jadi pemabuk. Usianya dua bulan, perkiraanku, kita buatnya pas kamu mabuk."
Memejamkan mata, Rei berusaha mencerna kalimat itu. Apa artinya Joash tak keberatan mereka punya anak? Namun, tetap saja. Entah Joash senang atau tidak atas kehadiran janin itu, Reilah yang akan menanggung akibat paling banyak.
"Jangan tidur dulu. Minimal minum teh hangat dulu, Rei."
Jijik. Rei mengernyit bukan hanya karena pusing yang melanda. Namun, juga karena suara lembut Joash barusan. Apa itu pria yang sama? Yang barusan berkata akan menikah lagi?
"Pusing, Ash. Tenagaku kayak hilang semua."
Lama tak mendengar suara, Rei merasakan sesuatu yang lembut mampir di dahi. Tidak sekadar mampir, tetapi menetap cukup lama di sana.
Joash mencium dahi Rei. Pria itu ingat penuturan dokter soal apa-apa saja yang nantinya akan Rei alami selama mengandung. Melelahkan, kesimpulannya.
"Sabar, ya. Kamu harus kuat. Dia bergantung sama kamu sekarang."
Bajingan. Rei memaki dalam hati. Enak, ya jadi pria. Tinggal membuahi, beberapa menit atau beberapa jam, dengan proses enak pula. Sedangkan perempuan, harus menderita selama sembilan bulan setelahnya.
Bajingan. Joash dan dunia ini memang berengsek. Rei tidak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...