Bianca menatapnya lama, Rei berusaha tidak terintimidasi. Pada Nia, anaknya Viona dan Naka, ia berikan seluruh atensi. Menyuapi gadis berusia enam tahun itu makan bubur kacang hijau.
Mereka sedang di ruang makan sekarang. Mamanya Joash sudah datang dan sejak tiba tadi, tak berhenti memandanginya. Sepertinya sedang meneliti ada beberapa banyak kuman atau parasit yang menempel di kulit wajah Rei.
"Tante tinggal di mana?" Nia bertanya, memecah hening yang mengisi meja makan.
"Jauh dari sini. Kenapa Nia tanya?" Rei mengusap noda di ujung bibir Nia dengan ibu jarinya.
"Bukan di rumah Om Joash? Katanya Om, Tante itu istrinya."
Viona memanggil salah satu asisten rumah tangganya. Meminta agar Nia diajak sarapan di halaman belakang. Sang ibu sudah memberi kode, artinya mereka sudah akan masuk ke tahap inti.
"Berapa usia kamu?" Bianca menatap saksama pada perempuan di samping Viona.
"Dua puluh tujuh, Buk," jawab Rei. Ia melirik sekilas bubur miliknya yang belum sempat disentuh.
"Biarkan Rei makan dulu, boleh? Dia belum makan apa-apa."
Kalimat Joash sekali lagi membuat Rei merasa otaknya benar-benar licik. Tanggap sekali laki-laki itu. Bayangkan jika Rei bisa mengendalikannya setelah menikah nanti. Surga dunia namanya.
"Kamu mau sarapan dulu?" Bianca tak ingin memberi kesan kejam.
"Lanjutkan saja, Buk." Saat ini bersikap layaknya korban adalah yang terbaik.
Bianca setuju. Ia lantas meminta Rei berdiri di sampingnya. Meraba pinggang dan bokong perempuan itu. "Kamu belum hamil, 'kan?"
Rei menggeleng.
"Sudah tidur dengan Joash, 'kan?" Terang-terangan wanita itu bertanya. Ia sudah dengar semua dari Viona. Sebenarnya tak diberitahu pun, ia bisa membaca keadaan. Joash tak mungkin selengket ini, jika belum mendapat apa-apa. Sejatinya laki-laki memang demikian.
Kali ini Rei hanya menunduk. Mengelak bukan rencananya. Harus terkesan sejujur mungkin.
"Bisa hamil kamu dengan pinggul sekecil itu? Sudah berbagi hormon dengan Joash pun, kamu masih sangat kurus. Sudah berapa kali kalian berhubungan?"
Rei tidak tahu apa hubungannya dua hal tadi. Namun, pertanyaan terakhir, ia memang tak ingat.
"Sebelas." Dari kursinya, Joash menyahut tanpa mengangkat wajah.
"Kamu hitungin?" Viona mendelik ngeri. Tak menyangka adiknya yang selama ini menjaga jarak dengan perempuan, ternyata punya kebiasaan yang aneh.
Ini sebenarnya keluarga seperti apa? Rei bertanya dalam diam. Membicarakan hal privasi begitu di ruang makan? Rei mulas dan nyaris muntah.
"Tubuh saya juga selangsing kamu dulunya. Dan ya, saya bisa punya anak. Dua." Sorot mata Bianca tak setajam tadi.
"Sekarang masih langsing, Mam." Naka menyahut dari kursinya. Dihadiahi si mertua senyuman.
Bianca membuat Rei duduk di kursi sebelahnya. Mengambilkan bubur baru dan menghidangkannya di depan perempuan itu.
"Kenapa mau menikah dengan Joash? Dia itu perjaka tua. Usianya sudah 34 tahun."
"Udah enggak perjaka, tolong diralat." Joash meneguk air dari gelas. Ia sudah selesai dengan sarapan. Saatnya menontoni Rei.
"Jangan bilang kamu jatuh cinta. Itu sangat tak mungkin." Naka mendapat cengiran hampa dari Joash atas ucapan itu.
"Karena dia tampan?" Bianca yang tak sabar menebak.
Rei mengangguk.
"Uangnya lumayan?"
Lagi, yang ditanyai menaik turunkan kepala.
"Lalu?"
"Aman." Rei mengangkat wajah. Memasang mimik setenang mungkin menghadapi tatapan ingin tahu wanita di sampingnya.
"Aman?" Viona membeo.
"Kalau saya bertemu Joash, saya merasa tak perlu mengkhawatirkan apa pun. Enggak ada manusia yang sempurna, yang mampu jadi pahlawan di setiap keadaan. Tapi, kalau bersama Joash, saya merasa apa pun akan bisa kami selesaikan. Dia pasti akan berusaha mengupayakan segala hal."
Bianca tercenung, Sungguh. Ia tak menyangka anaknya akan dipandang demikian oleh orang lain.
Joash itu nakal. Dia laki-laki dan bungsu. Setiap bulan pasti berulah di sekolah. Tidak serius, hingga alih-alih ikut mengurusi usaha keluarga, Joash justru memilih membuka usaha warnet dan hidup dari sana.
Anak itu mampu membuat perempuan merasa aman?
Hening menyelimuti ruangan itu cukup lama, sampai akhirnya Joash angkat suara.
"Tolong, intrograsinya dipercepat. Aku udah enggak sabar pengin cium seseorang." Joash menggigit bibir gemas. Matanya sama sekali tak berpindah dari Rei.
"Yang lain?" Bianca masih belum ingin mengakhiri ini.
"Apa Ibuk ingin saya mengabsen baiknya Joash menurut pendapat saya?"
Cantik sekali perempuan di sana, Joash tak berhenti tersenyum di kursinya.
"Satu lagi saja. Mengapa kamu ingin menikahi Joash?"
"Dia terlalu asal-asalan. Misal, kami pernah pergi jalan-jalan. Joash habis dari warnetnya dan mengambil uang dari sana. Cukup banyak, sekitar 20 juta, tunai. Bukannya menyimpan uang itu terlebih dahulu, ia malah membawanya bersama kami. Saya rasa dia butuh partner untuk mengingatkan hal-hal sepele semacam itu."
Bianca mengangguk puas. Ia menoleh pada anaknya. "Kamu bawa dia ke Mama bukan mau minta restu, 'kan?"
"Bukan. Hanya memperkenalkan."
"Kapan kamu ingin menikah?"
"Kalau sore ini Mama bersedia ikut ke rumah orang tua Rei, seminggu setelah besok aku mau pernikahan kami sederhana saja."
Rei tergagap mendengar itu. Ia membulatkan mata pada Joash yang malah melempar senyum.
Mengangguk-angguk lagi, Bianca mengetukkan telunjuk ke meja satu kali. "Oke. Sore ini kita ke rumah orang tua Rei. Tapi, setelah ini kamu harus antar Rei pulang."
"Good!" Joash mengembangkan senyuman lagi. "Cepat habiskan sarapanmu, Rei."
Belum terlalu jauh mencerna apa yang terjadi, Rei malah diinterupsi bersinnya sendiri. Satu keluarga tergelak, kecuali dirinya.
Bianca mengelus puncak kepala Rei. Air mukanya lebih bersahabat sekarang. "Semoga, penantian lama Joash tidak sia-sia. Semoga, memang kamu yang ia tunggu selama ini."
Kalimat aneh yang ditutup dengan kecupan di kepala itu membuat Rei benar-benar terkejut. Ia diterima? Bianca setuju padanya? Benarkah ia seberuntung ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...