Rei tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Sejak bangun tadi, ia langsung diserang rasa mual. Sudah hampir lima belas menit di kamar mandi, yang keluar dari mulut hanya air dan liur.
Perempuan itu lelah karena perut terus bergejolak. Menggembung, lalu mengempis dengan rasa tak nyaman. Belum lagi tubuhnya yang terasa benar-benar lemas. Rasanya Rei tak sanggup untuk keluar dari kamar mandi ini untuk mulai berbenah dan membuatkan sarapan.
Namun, Rei tak bisa seenak jidat mengabaikan semua pekerjaan. Walau sedikit pelan, langkahnya mulai bergerak meninggalkan kamar. Biasanya akan langsung mandi, kali ini Rei putuskan untuk menyapu rumah saja dulu.
Saat tak sengaja melewati kamar yang Bela tempati, Rei mendengar suara dari sana. Tangannya memegang gagang sapu lebih erat. Rei tahu itu suara apa. Ia tahu keadaan macam apa yang terjadi di dalam sana, hingga Bela bersuara seperti itu.
Tiba-tiba mual itu datang. Lebih hebat dari sebelumnya. Rei sampai tak bisa berjalan dan jatuh terduduk di depan lantai kamar.
Bajingan memang Joash ini. Apa semalaman tidak cukup, hingga harus membajak sawah sepagi ini? Sialan. Kenapa juga Rei harus mendengar dan terusik dengan itu.
Bukan cemburu, Rei meyakinkan dirinya bukan perasaan cemburu yang sekarang menggelayuti hati. Rei hanya jijik, itulah mengapa ia ingin muntah.
"Rei?"
Rei memegangi mulut. Wajahnya yang pucat mengarah ke pintu. Sosok Viona terlihat menghampirinya.
"Kak? Da--" Rei tak mampu berucap. Ia kembali memuntahkan angin.
"Kenapa? Kamu mual? Joash di mana?" Viona yakin adiknya itu belum berangkat bekerja.
Usai Viona bertanya, tak lama pintu kamar di dekat Rei terbuka. Orang yang Viona cari muncul dengan bertelanjang dada.
Menilik ke dalam ruangan, Viona membeliak dengan mulut menganga. Ada perempuan lain di sana. Tidak mengenakan pakaian, hanya selimut yang menutupi tubuhnya.
"Joash! Kurang ajar!" Lupakan sopan santun, Viona mengitari ruangan dengan mata, mencari benda yang paling dekat.
Perempuan itu mengambil sapu di dekat Rei. Memukulkannya bertubi-tubi pada Joash. Kepala, punggung, betis, dengkul, sampai tulang kering, semuanya Viona hajar.
"Bajingan kamu! Istri lagi kesusahan hamil, kamu malah senang-senang sama perempuan lain! Bagusnya dikebiri kamu, Jo!" Viona melempar sapu itu ke sang adik yang sudah berdiri di dekat sofa. Mereka sempat berkejaran tadi.
"Kamu jangan ikut campur. Kamu enggak tahu apa-apa." Joash meringis mengusapi beberapa bagian tubuhnya yang sebentar lagi akan biru keunguan.
"Ini istri kamu muntah-muntah, Joash! Harusnya kamu bantuin dia! Otak kamu itu isinya selangkangan doang, ya? Jijik aku sama kamu!"
Wanita itu memapah Rei berdiri. Mengambil kembali rantang yang tadi sempat diletakkan. "Ikut aku. Kita ke rumahku. Aku bisa mengurus kamu," katanya iba.
Rei menggeleng. "Aku enggak pa-pa, Kak. Dokternya bilang, mual sama muntah gini wajar."
Viona meringis geram. "Kamu kenapa sebodoh ini, sih, Rei? Ayo ke rumahku!" Ia menaikkan nada.
Ada air mata. Rei sungguh tak merencanakan itu. Suara Viona yang nyaring mendadak bisa membuatnya takut dan menangis begini.
"Aku enggak maksud, Kak. Tiba-tiba aja pengin nangis." Perempuan itu mengusapi pipi dan matanya cepat. Berusaha tersenyum pada Viona, tetapi hati malah semakin sedih.
Viona berdecak. Ia membawa Rei ke dalam pelukan. "Itu bawaan bayi. Kamu pasti jadi lebih sensitif. Maaf udah membentak kamu, ya?" Ia tepuk-tepuk punggung si adik ipar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...