Meraba sisi satunya tempat tidur, Joash tak menemukan yang ia cari. Pria itu membawa tubuhnya untuk duduk. Menatapi penjuru kamar dengan mata yang separuh terbuka.
"Rei?"
Hening. Tak ada yang menyahut. Pria itu turun dari sana, menyambar satu kaus dan celana pendek dari lemari, lalu melangkah keluar ruangan.
"Rei?"
Hari kedua menjadi suami. Hal pertama yang Joash cari masih Rei. Memastikan istrinya itu masih hidup setelah ia ajak bermain semalaman.
"Rei?"
Ruang tamu kosong, halaman depan sama. Pagar rumah sudah tak digembok.
"Kamu di dapur, Rei?"
Meja makan terisi piring dan sarapan. Rapi dan menggoda liur sebenarnya. Namun, di sana masih tak ada si istri.
Tempat mencuci, kamar mandi dan halaman belakang juga sama. Lengang. Langkah Joash menuju kamar mulai tergesa.
Hilang? Istrinya hilang? Dicuri siapa?
Sambungan telepon dari Joash hanya memperdengarkan nada tunggu. Ia mencoba lagi, kali ini dimatikan. Pria itu mengernyit pada layar ponsel.
"Aku di sini, Ash."
Suara itu datang dari ruang tamu, Joash menghampiri. Benar Rei yang menjawab. Perempuan itu melempar bokong ke sofa barusan. Terlihat berpeluh dan tengah menormalkan napas.
"Dari mana?" Joash meneliti setelan istrinya. Celana pendek selutut, kaus putih kebesaran, lalu handuk krem menggantung di leher.
"Nyasar tadi. Hampir enggak ingat jalan pulang." Rei melempar senyum kecil. Menyeka peluh di dahi dan lehernya. "Olahraga, Ash," jelasnya pada Joash yang masih menatapi seolah menunggu penuturan lebih lanjut.
"Lari?"
Yang ditanya mengangguk. "Biar badannya tetap bagus. Biar suamiku enggak ngiler lihat perempuan lain yang tubuhnya lebih aduhai."
Sudah lebih tenang, Joash menyandarkan punggung ke sofa. Memandangi Rei lamat, lalu mengulas senyum.
"Kenapa? Enggak mungkin badan aku bisa bagus?" Rei bertanya asal.
"Begini saja sudah cukup, Rei. Cuci mata itu wajar, asal tidak kelewat batas." Iseng, laki-laki itu mengusap leher Rei yang berkeringat dengan ujung telunjuknya.
"Dipegang ucapannya, ya, Pak Ash."
"Iya, Bu Rei."
Masih memperhatikan istrinya, Joash teringat dirinya beberapa minggu lalu. Saat masih menyandang status lajang. Pernikahan? Mana pernah terpikirkan.
Dulu, Joash adalah orang yang paling malas jika diajak bicara soal rumah tangga. Bukan antipati, tetapi kala itu Joash masih fokus untuk membuat dirinya mapan.
Bungsu, ia memberontak dan tak mau ikut campur mengurusi perusahaan milik sang kakek yang sekarang dikelola oleh sebagian besar sepupunya. Untung Bianca bukan anak sulung. Jika tidak, mungkin Joash akan dipaksa untuk ambil bagian, turun serta memberdayakan warisan sang kakek, dibanding hanya punya beberapa persen saham.
Seperti kata Mamanya, Joash menyadari bahwa dirinya memang tipe anak nakal. Sekolah sering membuat masalah, kuliah pun butuh beberapa tahun lebih lama untuk bisa lulus. Itu juga, hanya sarjana kosong, tak berisi.
Tak mau disepelekan, Joash memilih untuk membuka usaha. Yang bersinggungan dengan minat dan menurutnya mudah. Meminjam uang dari sang Mama, lelaki itu membangun usaha warung internet. Awalnya hanya satu, ia berhasil mengelola keuntungan dan membuka satu cabang lagi, di lokasi yang memang strategis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...