Semua tanya itu Rei telan bulat-bulat. Perempuan itu hanya memandangi kedua orang tuanya yang sudah duduk.
"Bu Yun, tolong buatkan teh, ya?"
Suara Joaash yang sedikit naik membut Rei berhenti bertanya-tanya sendiri. Ia menatapi Joash dan kedua orang tuanya bergantian. Menanti mereka membicarakan maksud pertemuan ini.
Untuk beberapa saat, tak ada yang buka suara. Rei malah mendapati suaminya balas menatapi, seolah menunggunya buka mulut. Untuk apa?
Ia tak merasa punya urusan dengan Reyan dan Sasa. Pun, sebelum-sebelum ini, kedatangan orang tuanya itu memang bukan untuk menemuinya.
"Kamu masih suka durian?" Sasa memulai konversasi seraya meletakkan buah tangan yang dibawa di atas meja. "Itu martabak durian."
Rei tak bisa menahan diri. Perempuan itu menaikkan dua alisnya serentak.
"Dicicipi, Rei." Reyan angkat bicara.
Mengangguk kaku, Rei membuka kotak martabak itu. Mengambil satu potong untuk dirasai. Benar. Enak. Lembut, manis dan rasa durian. Saat makanannya habis, Rei kembali mendengar ibunya bicara.
"Kamu tahu, selama ini, keadaan ekonomi keluarga kita selalu kekurangan." Sasa menatap putrinya penuh penyesalan. Bukan semata karena apa yang ia dengar dari Joash, tetapi tiba-tiba saja tersadar setelah melihat perut Rei yang mulai membuncit.
Masih dikuasai kebingungan, Rei merasa tangannya digenggam Joash. Pria itu memberikan senyum yang membuat hati tenang.
"Bukan kami nggak mau membawa kamu berobat dulu. Tapi, memang kita nggak punya biaya. Makan saja bisa, syukur." Sasa mulai berderai air mata. Wanita itu pelan-pelan diselimuti rasa kalah.
"Harapan bapak besar padamu. Bapak berharap kamu bisa berprestasi di sekolah, mendapat beasiswa dan segera lulus agar dapat membantu keluarga. Namun, kamu jauh sekali dari harapan itu."
Oh, ini semacam konferensi pers? Reyan dan Sasa mengabsen sikap mereka dulu, disertai alasan masuk akal? Rei yang terdiam dengan tatapan kosong diam-diam ingin tertawa keras.
Untuk apa? Untuk apa semua ini dilakukan?
"Kamu bahkan nggak pandai berteman, Rei. Kamu nggak pandai membangun relasi, entah dengan orang lain, bahkan dengan keluarga kita sendiri. Kamu tidak seperti Nisa yang punya banyak teman dan bisa meminta tolong pada teman-temannya itu."
Rei menyungging senyum perih. Jika saja bisa, ia ingin membalas ucapan tadi. Salah siapa Rei seperti itu? Salah siapa Rei sampai tidak punya keberanian menghadapi lingkungan dan berakhir sebagai orang yang menutup diri akan sekitar? Sampai tidak punya teman?
Bila saja bisa, Rei ingin menyalahkan Reyan atas itu semua. Pria itu yang memberinya ketakutan menghadapi dunia luar. Pria itu yang mematikan rasa percaya dirinya sejak kecil, dengan kerap membentak, memaki dan memarahi di muka umum, di hadapan banyak orang. Namun, Rei tidak bisa menyuarakan pembelaan itu.
Beberapa bulan menikah dengan Joash dan mengenal Bianca juga Viona, Rei pelan-pelan sadar. Apa pun yang terjadi padanya sejak dulu hingga sekarang, semua murni karena keputusannya. Ia tak percaya diri karena kerap dibandingkan dengan Nisa, itu salahnya karena tak mampu melihat sisi baik dari diri sendiri.
Rei yang tak mampu melawan rasa rendah diri itu, hingga benar-benar melumpuhkannya dan menciptakan karakter pengecut, cepat menyerah, pesimis dan menutup diri. Bukan salah Reyan atau Sasa. Ini semua keputusan dan hasil perbuatan Rei seorang.
Rei berusaha menerima itu belakangan ini. Sejak ia mengandung, sejak ia tahu bagaimana rasanya dilimpahi tangung jawab sebagai calon orang tua. Tidak bisa sempurna. Tak ada orang tua yang sempurna di dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...