Bab 22

1.1K 78 2
                                    

Melajukan mobil dengan kecepatan normal, Joash sesekali melirik ke bangku penumpang di sampingnya. Rei di sana. Sejak tadi menatapi pemandangan di luar jendela. Sekarang pukul sepuluh malam dan mereka dalam perjalanan pulang dari rumah Bianca.

"Rei, ada martabak. Mau?" Joash menghentikan mobil. Perempuan di samping menoleh, lalu menggeleng.

"Kalau kamu mau, sini biar aku belikan." Rei mendekatkan telapak tangan yang terbuka pada Joash. Bukannya diberi uang, tangan perempuan itu malah digenggam.

"Capek, ya?" Lelaki itu bisa melihat gurat lelah di paras istrinya. Entah kenapa, malah menambah kadar cantik di sana. Lelah saja cantik, apalagi saat bugar?

"Sedikit." Senyum Rei terasa hambar, bahkan untuk perempuan itu sendiri.

Ia berbohong. Rei sungguh lelah. Luar dan dalam. Rasanya ingin segera sampai di rumah dan melupakan semua yang sudah terjadi dengan cara tidur.

Masih memandangi wajah itu, Joash jadi bimbang. Haruskah ia membahas hal tadi sekarang? Ia khawatir. Sangat. Lelaki itu cemas apa perkataan tak berbobot Robi sudah melukai Rei. Namun, dirinya sungkan bertanya karena tak ingin malah memperburuk suasana hati Rei.

"Nye?"

Panggilan itu seketika membuat ekspresi wajah Joash menjadi kesal. "Kamu serius mau panggil aku begitu, Rei? Ash aja. Sudah bagus, seksi juga. Nye? Nyet, begitu?"

Kembali dipandangi sang suami, Rei menahan diri untuk tak meledak. Ia marah. Ia tahu bahwa sekarang Joash sedang mengasihani dirinya. Entah Naka memberitahu atau tidak, yang jelas, sejak tadi lelaki di kursi kemudi itu terus-terusan melirik padanya. Candaan barusan juga pasti demi menghiburnya.

Rei tahu dirinya sungguh sial, malang. Namun, dikasihani bukanlah sesuatu yang diinginkan. Hal itu malah membuat Rei semakin sedih.

"Ash. Ayo pulang. Aku mau itu." Rei bicara cepat, sama sekali tak menunjukkan rasa ingin. Hanya ekspresi menggoda yang dibuat-buat.

"Mau apa?" Joash melebarkan kelopak mata. Tumben sekali Rei meminta lebih dulu.

"Itu. Nanti aku bisikin di rumah. Sekarang, jalankan mobilnya dulu. Secepatnya sampai di rumah. Atau, kamu mau kita diciduk warga di sini?"

Sebenarnya ragu, tetapi pada akhirnya Joash menuruti permintaan si perempuan. Ia menginjak pedal gas, berkendara secepat mungkin agar bisa segera tiba di rumah dan memberikan apa yang Rei minta. Pria itu berusaha berpikir positif. Mungkin, Rei memang tidak terlalu memusingkan ucapan Robi.

Awalnya mengira Rei baik-baik saja, Joash sepenuhnya berubah pikiran kala mereka sedang saling mengejar puncak di ranjang. Joash merasakannya. Ada yang lain. Rei seperti habis-habisan, terlalu aktif dan panas. Bukan lelaki itu tidak suka, ia merasa senang bukan main. Namun, jika Rei bersikap demikian hanya karena ingin lari dari sesuatu, maka semua itu tak lagi bagus.

"Ash?" Wajah merah, matanya sayu, Rei menyuarakan protes saat Joash tak mengizinkannya berpindah posisi. Perempuan itu ingin memimpin, lagi.

Joash menggigit bibir, merasakan sisa sensasi puncaknya--entah yang keberapa kali-- yang baru saja terjadi. Mengambil napas, pria itu menggeleng pada Rei. "Udah. Kamu terlihat capek, Rei."

Kepala Rei bergerak ke kanan dan kiri. "Masih kuat, Ash. Kamu meragukan aku?" Ia sudah akan bangkit, tetapi bahu lebih dulu didorong Joash.

Joash tahu itu bohong. Dirinya saja sudah lelah, konon Rei. Perempuan itu sudah terlihat lemas, matanya nyaris terpejam. Dan yang paling mengganggu Joash adalah sorot mata si istri saat menatapnya. Ada kesedihan dan putus asa di sana.

Lelaki itu menyudahi penyatuan mereka. Berbaring di samping Rei, memeluknya erat. "Kamu dengar apa yang si sampah Robi bilang?"

Menatap langit-langit kamar, Rei memilih tak bersuara. Ia memejam.

Joash berpindah, menaruh kepalanya di dada Rei, usai menaikkan selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Kamu dengar, 'kan?"

Mata kembali terbuka, Rei tersenyum perih. "Aku harusnya bisa bersikap biasa aja, kan, Ash? Sepupu kamu benar. Aku enggak punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Kamu nikahi cuma untuk ditiduri."

Mengumpati Robi dalam hati tak akan cukup. Joash bersumpah akan benar-benar memotong lidah si berengsek itu.

Pria itu tak menjawab, belitan tangannya di pinggang Rei semakin erat.

"Aku dengar. Tapi, ya, udah. Aku juga enggak punya pembelaan. Dia benar, apa yang dia bilang fakta."

Menggigit bibir kuat, Rei perlahan merasakan asin menjalar di mulut. Jika bukan karena suara Joash, sudah pasti ia akan melakukan itu hingga bibirnya sobek lebih parah.

Darah di bibir istrinya Joash bersihkan dengan bibir sendiri. Pria itu memejam, merasakan tiap nyeri yang berdatangan karena mata Rei yang berkaca-kaca tadi.

"Bibirnya sakit?" Joash bertanya tepat di depan wajah sang istri. Tatapannya teduh, berusaha membuat Rei yakin untuk berani membagi perasaan.

Ia dijawab dengan dehaman. "Kalau gitu, silakan nangis. Kalau sakit, kamu boleh nangis, Rei."

Tangan Joash bergerak di bawah selimut. Meraih tangan Rei yang sudah mengepal. Ia urai satu per satu jemari perempuan itu. Mata tak berpindah dari wajah kesakitan si istri.

"Enggak pa-pa. Kalau sakit, jangan ditahan. Menangis saja."

Rei terlalu terbawa perasaan. Ia gagal mengendalikan diri. Perempuan itu mengalungkan lengan di leher Joash, lalu mulai menangis di dada pria itu. Tanpa suara, tetapi air mata jatuh melimpah.

Joash benar. Ini terasa sakit. Entah karena apa. Padahal Rei tidak sedang difitnah.

"Kenapa aku harus nangis, Ash?"

Joash tersenyum mendengar itu. "Karena kamu marah. Kamu ingin membantah yang Robi katakan, tapi tidak kamu lakukan."

"Itu karena apa yang dia katakan benar, Ash. Aku memang seburuk itu."

Lelaki itu membuat jarak agar mereka bisa berpandangan. Ia hapus jejak basah di wajah si istri. "Dia tahu apa, Rei? Bukan dia yang menikahi kamu. Aku. Yang menikahi kamu itu aku."

Mata bengkak Rei mengajak pandangan Joash beradu. "Jadi, karena apa? Karena apa kamu menerima aku menjadi istrimu? Kenapa kamu mau menikahi aku?" Rei memaki diri karena terbawa arus sampai sejauh ini. Harusnya ia masa bodoh saja. Ia hanya butuh status, tidak lebih.

"Karena aku memang ingin menikah dan waktu itu aku lagi pacaran sama kamu."

Rei bodoh. Dungu. Memang ingin Joash menjawab apa? Perempuan itu bernapas pelan-pelan, berusaha meredam emosi yang kacau balau.

Perempuan itu mengusapi pipinya sendiri. Menghapus air mata di sana hingga bersih. "Maaf, ya. Aku terlalu banyak baca novel drama."

"Itu dulu." Joash meraih telapak tangan Rei untuk dikecup. "Dulu, aku memang belum punya perasaan apa-apa sama kamu, selain tertarik secara fisik. Tapi, sekarang udah beda, Rei."

Ia mencium dahi Rei. Lama dan dalam. Menatap teduh pada dua manik istrinya, lalu tersenyum lembut. "Sekarang udah enggak sama, Rei. Dulu, cuma kamu yang jatuh cinta sama aku. Sekarang, udah enggak gitu."

Berputar-putar, membingungkan. Kepala Rei jadi pusing. Lelah yang tadi coba diabaikan mulai menyerang serentak dan lebih kuat. Rei kesulitan untuk tetap membuka mata. Ia mengantuk.

"Gimana pun sekarang. Aku cuma butuh satu hal, Ash." Rei memeluk pria itu. Menenggelamkan wajahnya di bahu Joash agar bisa memejam. "Aku cuma butuh diizinkan untuk selalu berada di samping kamu. Jadi istri kamu." Menumpang tinggal dan makan.

Pengakuan yang kembali berhasil membuat Joash berbunga-bunga. Pria itu melengkungkan bibir. Menunduk untuk mencium si istri, dilihatnya Rei sudah terpejam. Tertidur karena lelah, mungkin.

Dipandangi pria itu wajah orang yang terlelap di hadapan. Hatinya menghangat, walau pengakuan itu belum sempat tersuarakan. Bukan masalah, mereka punya banyak waktu. Ia dan Rei akan bersama selamanya, kan?

Fake Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang