Bel di atas pintu kafe bergemerincing, Joash yang duduk di salah satu kursi menoleh. Pria itu langsung menggeleng malas pada lelaki yang tengah berjalan ke arah meja.
Siang ini, meninggalkan Rei sebentar di warung internet, Joash punya janji temu dengan salah satu temannya sewaktu SMA. Namanya, Rudi.
Bukan pertemuan penting, sebenarnya mendadak. Joash menyempatkan waktu karena Rudi berkata ini sangat perlu untuk diceritakan.
Kebetulan tadinya ia dan Rei tengah menjaga salah satu warung internet. Jadi, Joash punya waktu untuk menemui Rudi dan mendengar cerita pria itu. Sudah pasti tak jauh-jauh dari urusan rumah tangga.
"Kenapa? Kamu sudah seperti perempuan saja, butuh teman cerita." Joash mengarahkan konversasi ke arah yang lebih serius, usai mereka bertukar kabar dan sedikit berbasa-basi.
Rudi membuang napas. Terdengar berat. Tatapannya terlihat frustrasi. "Istriku selingkuh, Jo."
"Lalu?"
Rudi berdecak. "Itu berita duka. Harusnya kamu sampaikan belasungkawa dulu."
Gantian, Joash yang berdecak. "Bercerai, menikah lagi. Apa susahnya? Di mana letak kemalangannya?"
"Kamu nggak paham, Jo." Rudi menarik napas. Menegakkan punggung, mulai berkisah. "Kami menikah sudah lima tahun. Aku kira semua baik-baik saja. Dia nggak pernah mengeluh soal apa pun, aku pikir semua baik-baik saja."
Joash bisa melihat Rudi sungguh menderita. Pria itu tampak kuyu, rambutnya mulai panjang tak terurus. Lebih kurus juga dari yang terakhir kali ia lihat. Apa sebesar itu efek dari istri selingkuh?
"Aku memergokinya sedang bersama pria itu. Di hotel." Rahang Rudi tampak mengeras. Sisa kemarahan itu masih ada.
"Harusnya kamu marah, bukan terlihat menderita seperti ini." Joash berkomentar sesuai gerak hatinya.
"Kamu tahu apa alasannya saat aku bertanya kenapa?" Rudi tersenyum miris. "Katanya, aku terlalu sibuk bekerja. Tak ada waktu untuknya."
Joash duduk lebih tegak saat menyadari mata Rudi berkaca-kaca. Ia sungguh ingin memaki temannya itu, tetapi takut malah semakin memperburuk keadaan.
"Aku cari uang, kerja siang sampai malam, itu untuk dia. Demi mencukupi kebutuhan belanjanya yang banyak itu. Tapi, apa? Dia merasa berhak mencurangi aku karena aku tak punya waktu dengannya? Ini tidak adil, Jo. Sungguh tidak adil." Rudi menggeleng berkali-kali. Amarahnya kembali berkumpul. Siap meledak, entah untuk yang keberapa kalinya.
Joash mendekatkan kursi. Menepuk bahu temannya sebagai bentuk simpati. "Jangan marah. Tapi saranku masih sama. Jangan buang waktu untuk bersedih atau meratap. Kamu enggak melakukan kesalahan, istrimu yang terlalu muluk dan enggak tahu diri. Selesaikan ini. Bercerai dan mulai kehidupan asmara yang baru. Perempuan enggak hanya satu di dunia ini."
Rudi tak bisa marah pada Joash. Mereka kenal sejak SMA. Sudah pria itu hapal bagaimana perangai sang sahabat, apalagi soal asmara. Tipe yang menggampangkan semuanya. Pahamnya masih mati satu, tumbuh seribu.
Joash belum paham bahwa perasaan cinta bisa membuat satu menjadi seribu dan membuat seribu tak berarti apa pun jika dibandingkan dengan satu yang istimewa.
Lelaki itu tersenyum, walau tidak lepas. "Seandainya bisa semudah itu. Seandainya aku tidak mencintainya sebanyak ini."
Joash membuat ekspresi seolah akan muntah. "Cinta itu enggak penting. Yang penting itu uang dan terbiasa."
Rudi menepuk-nepuk bahu Joash. "Kamu belum jatuh cinta juga rupanya. Istrimu belum berhasil membuatmu jatuh hati?"
"Rei? Dia baik. Aku sayang padanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...