Bab 23

1.1K 84 2
                                    

"Kamu tidak seharusnya melakukan ini, Jo. Robi itu saudara kamu." Bianca menggeleng lelah, memijat pelipisnya. Di depannya, sang anak sama sekali tak menunjukkan ekspresi menyesal, masih saja seperti kecil dulu.

Joash pernah melakukan hal seperti ini dulu, saat SMA. Ia menghajar dan membuat salah satu teman sekelas babak belur hanya karena tak suka sepatu baru pemberian ayahnya sengaja diinjak.

Sudah diberi hukuman oleh pihak sekolah, dimarahi sang ayah, Joash tetap tak sudi minta maaf apalagi menyesal. Persis seperti yang sekarang diperlihatkan pria itu.

Bianca bingung harus melakukan apa. Sebentar lagi, Adrian, kakak suaminya pasti akan datang bersama Robi. Joash memukuli Robi siang ini. Di kantor, disaksikan beberapa pegawai di sana.

Perkaranya apa, sang anak tak ingin menjelaskan lebih lanjut. Hanya berkata Robi sudah membuat Rei sakit.

Sesuai dengan dugaan Bianca, Adrian terlihat marah. Orang tua mana pun tak akan senang bila anaknya dihajar orang lain. Terlebih, Robi di depan mata Bianca sekarang memang terlihat memprihatinkan. Pelipisnya diplester, matanya bengkak, bibirnya berdarah dan pipinya mulai kebiruan.

"Saya juga menyesal, Mas Adrian. Saya sudah minta maaf ke kamu."

Adrian melirik kesal pada Joash yang sama sekali tak bersuara sejak tadi. "Yang salah bukan kamu. Joash bahkan tak terlihat menyesal."

Joash menoleh pada Omnya. "Saya belum selesai, Om. Janji saya pada Rei, saya harus memotong lidahnya." Lelaki itu menatap Robi datar. Jemarinya yang terluka di beberapa bagian ikut terkepal. Sungguh, Joash belum puas.

"Kamu melakukan ini pada saudaramu hanya karena istrimu? Dia mengadukan apa padamu? Dia menuduh Robi mengg-"

"Berhenti, tolong." Sorot mata Joash berubah semakin dingin dan mematikan. Ia tak berkedip. Tubuhnya bergetar samar karena amarah. "Jangan sampai saya lupa harus menganggap Om sebagai kakaknya Papa."

"Joash!" Bianca memperingatkan. Anak bungsunya sungguh sudah kelewatan.

Si anak memalingkan wajah pada ibunya. "Papa itu buruk rupa, 'kan, Ma? Bajingan. Berengsek. Bodoh. Sama sekali tak layak untuk Mama cintai. Di--"

Satu tamparan dari Bianca menghentikan ucapan Joash. Si ibu yang sudah bangkit dari duduk  terlihat amat marah.

"Kenapa kamu mengatakan semua itu soal Papamu, Jo?!"

Mengusap pipinya yang panas, Joash tersenyum miring. "Itu belum apa-apa, Ma. Si bajingan ini." Ia menunjuk Robi tepat di wajah. "Dia mengatakan hal yang lebih parah soal istriku. Mama berharap aku menyesal setelah memukulinya?"

Bianca terkesiap. Semua mulai masuk akal sekarang. Joash memang selalu marah jika sesuatu yang berharga baginya diusik orang lain. Wanita itu tak lagi bisa bersuara.

Joash berdiri. Rahangnya mengeras saat menatap wajah babak belur Robi. "Aku akan datang lagi. Selagi lidahmu masih utuh, aku akan terus datang."

Lelaki itu pergi dari rumah sang ibu. Ia ingin pulang dan menemani Rei yang sejak kemarin diserang demam. 

Jika bukan karena diminta Naka untuk menjelaskan pada Bianca, Joash akan langsung pulang usai sedikit memberi pelajaran pada Robi. Ia repot-repot singgah di rumah sang ibu semata-mata karena menghormati sang kakak ipar.

Rei sakit. Memang hanya demam, tetapi Joash yakin itu ada hubungannya dengan acara keluarga tempo hari. Pria itu sudah tahu bahwa istrinya tak terlalu nyaman berada di keramaian. Ditambah ucapan-ucapan tak berbobot dari kerabat dan ketidaksengajaan perempuan itu mendengar kalimat sampah Robi.

Rei pasti stres. Istrinya itu pasti terluka dengan semuanya tadi, karenanya jadi sakit begini. Perempuan itu demam tinggi. Sejak kemarin hanya bisa berbaring di ranjang, bahkan Joash sampai memanggil dokter dari klinik untuk datang ke rumah. Dan itu semua karena Robi. Lalu, apa? Bianca dan Adrian meminta Joash menyesal karena sudah menghadiahi si sepupu dengan beberapa pukulan?

Fake Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang