Bab 45

2.8K 154 8
                                    

Bela berjalan menuju kamar Rei dengan nampan di tangan. Ada nasi, ayam goreng kesukaan Rei, segelas air hangat dan segelas susu di sana.

Memasukkan kunci ke lubang, Bela membuka pintu itu. Ia melangkah ke dalam, kemudian menutup pintunya lagi.

"Pagi, Rei. Makan dulu, ya. Ada ayam goreng. Masih hangat, baru digoreng Bu Yuni."

Rei yang semula berbaring malas, membawa tubuhnya duduk. Menyipit pada Bela, lalu berkata, "Aku mau keluar, Bel. Aku mau pergi dari rumah ini."

Bela tersenyum. Sebisa mungkin menguatkan si ibu hamil dengan itu. "Mau aku suapi? Apa aku panggilkan Jo? Dia belum pergi kerja, kok."

Membuang napas kasar, Rei menatapi piring penuh di hadapannya. Mogok makan sebenarnya bisa dijadikan senjata melawan Joash. Namun, bagaimana anak dalam rahimnya? Makhluk kecil yang bergantung padanya itu tak bersalah. Tidak seharusnya ikut terkena imbas.

Mau tak mau, pagi ini Rei kembali menuruti kemauan si jahat Joash. Perempuan itu makan, menghabiskan isi piringnya.

Tak ada lagi rutinitas bersih-bersih rumah di pagi hari. Rei tak perlu melakukannya lagi. Tak harus mencuci piring atau pakaian. Menyapu dan mengepel pun sudah bukan kewajibannya lagi. Semua sudah dikerjakan Bu Yuni, asisten rumah tangga yang mulai bekerja dua minggu lalu.

Dua minggu lalu, saat Rei mencetuskan keinginan dan persetujuan untuk dicerai, perempuan itu sudah akan angkat kaki dari rumah. Namun, Joash tak membiarkannya.

Pria itu menghalangi Rei pergi. Tak mengabulkan keinginan Rei untuk bercerai dan malah mengurung istrinya itu di kamar. Sejak dua minggu lalu, Rei tak dibolehkan keluar dari sana sedetik pun.

Ini membingungkan. Bukankah tadinya Joash sangat ingin mengakhiri rumah tangga mereka? Melakukan segala macam cara agar Rei menyerah menjadi parasit. Namun, saat ia sudah bersedia menyudahi pernikahan, Joash malah tak ingin. Mengurungnya pula, hingga tak bisa ke mana-mana.

Rei sungguh tak paham. Ia sudah bertanya pada Joash, tetapi tak dijawab. Menanyai Bela, perempuan itu juga tak memberikan kejelasan apa-apa.

Satu-satunya alasan Rei pasrah disekap adalah karena tak ingin ada adegan kejar-kejaran yang bisa saja membahayakan penghuni rahimnya.

"Besok jangan lupa. Jadwal kamu cek ke dokter. Aku enggak sabar mau lihat si dedek." Bela mengusap perut Rei yang mulai menonjol.

"Ini ajaib, Bel. Kamu itu istri kedua Joash. Kita enggak seharusnya ada di situasi macam ini." Rei menghabiskan air hangatnya.

"Kamu juga manusia ajaib, Rei. Jadi, orang-orang di sekelilingmu juga harus ajaib. Asal tahu, aku suka jadi bagian orang-orang ajaib itu."

"Terserah," balas Rei malas.

"Mau apa lagi? Buah kita habis. Nanti aku beli dulu, ya."

"Terserah, Bel."

"Mau apa? Semangka lagi? Atau anggur?"

"Belikan jeruk."

"Siap." Bela takut lupa, jadi ia mencatat itu di ponsel. "Ada lagi?"

"Aku makin gendut, 'kan, Bel?" Rei membandingkan bentuk tubuhnya dengan Bela. Jauh sekali berbeda. Terutama lengan dan dada. Rei sudah tak melihat bentuk di sana, melainkan lipatan lemak.

"Cantik, Rei. Wajah kamu bersinar. Enggak gendut, malah kurus untuk ukuran ibu hamil," ungkap Bela tulus.

"Jijik, Bela!"

Bela tertawa girang.

"Bilang Joash aku harus keluar. Mau beli baju baru."

"Siap! Udah? Ini aja?"

Fake Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang