Warn! 21+
*
*
*
*
*"Mama bilang apa tadi, Ash?" Bersiap untuk tidur, Rei yang bergabung dengan Joash di ranjang buka suara.
Setelah mereka pulang memancing tadi, Joash mendapat telepon dari Bianca. Suaminya itu tak membiarkannya mendengar percakapan itu. Awalnya tak mau ambil pusing, tetapi Rei malah jadi penasaran.
Joash berbaring menyamping, menjadikan paha Rei sebagai bantal. "Mereka semua aneh."
"Kenapa?"
Lelaki itu merapatkan wajah ke perut Rei. Memeluknya. "Aku belum nikah, dipaksa cepat menikah. Aku udah menikah, ditanyai terus kapan punya anak. Kenapa mereka yang mengatur hidupku, sih?"
Rei menggigit bibir. Cepat sekali pertanyaan itu muncul dari keluarga Joash? Mereka bahkan belum sebulan menikah. Apa jadinya jika Bianca tahu jika selama ini Rei mengonsumsi pil kontrasepsi?
"Kamu belum ingin punya anak, Ash?" Hati-hati perempuan itu bertanya. Degub jantungnya mulai makin cepat. Telapak tangan juga lembab.
Joash menggeleng. "Aku belum siap. Memang punya anak urusan mudah? Proses buatnya mungkin menyenangkan. Kalau sudah jadi, yang ada menambah masalah."
Terkesan jahat, tak punya otak, tetapi Rei senang mendengar jawaban tadi. Artinya, dalam waktu dekat ia tak akan dituntut hamil oleh Joash, Urusan desakan keluarga pria itu, nomor belakangan.
Membuang napas lega hati-hati, Rei mengusapi kepala Joash di pangkuannya.
"Aku masih ingin menikmati berduaan bersama kamu, Rei. Minimal dua atau tiga tahun lagi."
Tak menyahut, Rei sebenarnya berharap selamanya mereka tak akan memiliki anak. Pekerjaannya akan tambah berat bila itu terjadi. Sekarang saja, Rei sudah kelelahan setiap hari.
Tak mendengar istrinya berucap, Josh menaikkan pandangan. "Kamu setuju denganku, Rei? Atau, kamu sudah ingin hamil?"
Rei menggigit bibir. Ia membungkuk, untuk bisa memeluk kepala Joash di dada. "Jangan marah. Aku ingin mengakui sesuatu."
Air muka Joash berubah tegang.
"Aku pakai kontrasepsi selama ini. Pil." Rei pura-pura mengeratkan pelukannya. Bersikap seolah takut Joash marah.
Ekspresi tenang kembali Joash perlihatkan. Ia mengusap kepala Rei. "Kamu lebih pintar dari aku. Makasih karena selau bisa baca pikiranku, tanpa aku harus repot-repot menjelaskan."
Bagus. Semoga nilai Rei bertambah di mata Joash. Rei memang berniat mengambil semua hati pria itu, agar posisinya semakin aman.
"Kamu enggak marah?" Joash menggeleng, Rei kembali menegakkan punggung. "Kamu mau tidur begini?"
"Kamu langsung tidur?" Joash bertanya dengan satu alis meninggi. Pria itu duduk, menatapi istrinya dari ujung rambut ke ujung kaki.
"Kamu perlu sesuatu?" Rei masuk ke dalam selimut. Wajahnya dibuat sepolos mungkin. Rei kemudian menguap. Bukan perempuan itu tak tahu apa yang Joash inginkan.
Melihat mata Rei yang sayu, Joash jadi tidak tega. Ia sempat memergoki istrinya itu mencuci tadi siang. Berpeluh-peluh karena menggunakan tangan. Ulah Joash yang sengaja tak kunjung memanggil tukang reparasi mesin cuci.
"Ash?"
Yang dipanggil menggeleng. Ia membantu Rei berbaring. Setelahnya, ia juga ikut menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Pria itu mengambil ponsel, membuka aplikasi gim di sana.
"Main gim lagi, Ash?"
Joash menjawab itu dengan kecupan di dahi Rei. "Selamat tidur. Jangan mimpi buruk, ya."
Gim adalah kesukaan Joash. Tiba-tiba saja Rei berubah pikiran. "Aku sama gim itu, kamu pilih mana, Ash?"
Lelaki itu menoleh dengan alis berkerut. "Kamu pasti capek seharian ini. Tidur, ya."
"Aku sama gim, kamu lebih suka mana?"
"Aku mau main sebentar, Rei. Setelah ini baru tidur." Joash tak lagi menatap wajah istrinya saat bicara. Pria itu mulai larut dalam permainan.
Tidak bersuara, Rei sengaja bangun dan duduk untuk melepas kaus dan tank topnya. Perempuan itu berbaring telungkup, wajah membelakangi Joash.
Joash termangu di tempatnya. Sungguh tidak terduga yang Rei lakukan. Untuk apa? Apa demi mencegahnya bermain gim hingga larut malam?
"Kamu kenapa, Rei?" Jakun Joash naik turun melihat sesuatu yang menyembul di sana. Di bawah ketiak Rei. Sengaja sekali perempuan itu menjadikan tangan sebagai bantal.
"Gim lebih penting dari aku, 'kan?"
Tertawa, Joash menyimpan ponselnya di nakas. Ia berbaring dengan kepala di punggung Rei. "Cemburu? Sama gim?"
"Kamu jarang ada di rumah. Sekalinya ada waktu, bukannya istirahat, malah main. Waktu kerja, kamu pasti bisa curi waktu untuk main, 'kan?" Rei ingin muntah mendengar kalimatnya sendiri.
"Kamu bisa bicara. Kenapa harus buka baju? Aneh. Sengaja, ya? Tadi padahal udah menguap. Enggak ngantuk?"
"Ngantuk. Tapi aku yakin, kalau aku bicara, kamu enggak akan dengar."
Joash tidak terima dituduh begitu. Pria itu memposisikan diri di samping si istri. Meraih Rei dalam pelukan agar saling berpandangan.
"Kenapa kamu yakin aku enggak akan dengar?"
"Kamu enggak suka diatur." Rei bicara pelan. Sengaja ia menyembunyikan wajah di dada Joash. "Aku enggak maksud mengatur, Ash. aku cuma ...."
"Cuma sayang?" Joash menimpali dengan bangga. "Lain kali jangan begini. Kalau mau bicara, tinggal bicara."
"Maaf. Aku malu-maluin, ya?"
"Bukan. Kalau kamu begini tiap ingin diperhatikan, aku takut kamu enggak akan sanggup." Joash menghabisi jarak di antara mereka, membuat Rei memahami maksud ucapannya.
Pria itu bergerak teratur, tetapi menggebu. Bibir, tangan, dan kakinya berusaha menguasai Rei yang mulai terbuai.
"Enggak jadi tidur kamu, 'kan?" Joash bisa merasakan embusan napas Rei semakin kasar, berat dan cepat. Tatapan perempuan itu semakin sayu. Perpaduan antara gairah dan lelah. Membuat Joash semakin tak sabar mendominasi.
Saat Joash menurunkan tubuh, Rei baru menyadari jika dirinya sudah terjebak dalam perangkapnya sendiri. Sesal itu disuarakan dalam lenguhan yang dibuat-buat kala Joash menyatukan mereka.
"Maaf," ringis Joash di balik bahu Rei. Pria itu tak mampu menahan diri. Pinggulnya mulai bergerak.
Sialan. Bajingan. Bedebah. Rei memaki dalam hati. Untuk Joash dan untuk dirinya yang selalu kalah di bawah gairah pria itu.
"Ash." Jemari kaki Rei menekuk. Punggungnya membusur ke depan seiring tarian Joash yang semakin cepat temponya.
Rei benci keadaan ini. Setiap kali ini terjadi, Rei selalu bertengkar dengan dirinya sendiri. Satu sisi jijik, tak ingin, menganggap ini hanya bagian dari pekerjaan terkutuk demi keberlangsungan hidup. Sisi yang lain dengan tak tahu malunya malah kegirangan. Sensasi yang Joash berikan dan Rei rasakan begitu memuakkan sekaligus memabukkan.
"Rei."
Perempuan itu menurut saja saat Joash menuntunnya untuk mengalungkan lengan di leher. Ia mendongak, memejam, bernapas putus-putus saat ia dan sang suami semakin tak berjarak. Rapat, menyatu, saling mendorong.
"Panggil lagi, Rei. Sebut namaku lagi."
Sialan. Sialan. Sialan. Bajingan. Bajingan. Semua sialan.
"Ash ...." Rintihan Rei terdengar putus asa.
Rei menyerah pada sisi binatang dalam diri. Suka rela kakinya melingkar di pinggang Joash. Menghisap pria itu, hingga Joash di atasnya berhenti bergerak dan mengerang.
Joash gemetar karena berusaha menahan diri agar tidak meledak dulu. Ia menggeleng putus asa pada Rei. "Ja--ngan." Pria itu terengah, dua tangannya mencengkeram kuat pinggul Rei.
Gantian, Rei yang memyentuh, meliuk, menggeliat. Mengambil alih kendali, menggoda Joash, memuaskan dirinya sendiri. Terserah. Rei ingin bersenang-senang sekarang.
![](https://img.wattpad.com/cover/324256587-288-k128563.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
عاطفيةRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...