Lazimnya hari-hari sebelum ini. Rei mengurusi Joash yang baru pulang bekerja. Mengambilkan kaus dan celana pendek, menyiapkan makanan, mengupaskan buah, lalu sebelum tidur, mereka duduk di sofa ruang tamu.
Bedanya malam ini, Joash membawakan pesanan Rei. Yakni, bir kaleng.
"Yakin mau minum ini?" Joash membuka salah satu kaleng, memberikannya pada si istri.
Rei menatapi bir kaleng di tangannya. "Enggak akan ditangkap polisi, 'kan, Nye?"
Si suami menggeleng. "Riset untuk cerita, maksudnya apa, Rei?"
Perempuan itu menerangkan. Akan ada satu adegan di novel yang ia tulis di mana tokoh utamanya akan meminum minuman beralkohol.
"Aku harus jelaskan sensasi yang tokohnya rasakan waktu minum. Aku sendiri enggak tahu rasanya, gimana mau deskripsikan. Baca-baca artikel udah, tapi penasaran aja. Mau nyicip langsung. Boleh, 'kan?"
Kepala Joash naik-turun. Ia membuka kait kaleng birnya, lalu meneguk isinya. Pria itu tersenyum kala mendapati sang istri sibuk mengamati raut wajah.
"Pahit?" Rei mengernyitkan dahi.
"Sedikit," jawab Joash seraya kembali minum dari kalengnya. dengan ekspresi datar. Pria ini hendak pamer, kalau ada yang mau tahu.
Takut-takut, gerakan tangannya ragu, Rei mendekatkan bibir kaleng ke mulut. Mendongak sedikit, lalu saat cairan dalam wadah tadi masuk ke mulut dan dirasai lidah, perempuan itu memejam, bergidik, dahinya berlipat.
"Enggak enak, Nye," protesnya seraya menaruh kaleng tadi di meja. "Kok kamu suka? Enggak enak gitu."
Joash tertawa saja. Separuh isi kalengnya sudah habis. Kenapa menontoni Rei begini rasanya menyenangkan, ya? Lebih seru daripada minum di kelab dan memandangi banyak perempuan cantik menari.
"Udah bisa deskripsikan rasanya?"
Rei menggeleng. Perempuan itu memegangi kepala. "Kok pusing, ya?"
Tawa si suami pecah. "Satu teguk langsung teler, Rei?" Ternyata tingkat toleransi tubuh Rei terhadap alkohol secetek itu? "Suami kamu ini minum sepuluh kaleng juga masih bisa sadar."
Mengabaikan ucapan Joash, Rei mencecap lidahnya. Berusaha mencerna rasa yang masih tertinggal di sana. Perempuan itu berdecak. Ia masih belum bisa menjelaskan apa-apa sekarang.
Rei pun kembali meraih kaleng bir tadi. Meneguknya sekitar lima kali lagi, lalu terdiam di sofa.
Joash hanya menontoni. Ia senang melihat bagaimana pipi sang istri perlahan berubah warna. Memerah. Cantik. Ingin sekali ia gigit.
Rei mengerjap-ngerjap setelah beberapa menit bergulir. Tidak lagi duduk tegak, perempuan itu sudah menyandarkan kepala di punggung sofa. Semua tampak berputar-putar. Tubuhnya mendadak terasa ringan. Rei bingung ia tengah sadar atau tertidur.
"Jangan minum sama orang lain, ya? Cuma boleh sama aku." Joash memangku Rei. Mengusap sayang punggung perempuan yang sudah mabuk itu.
Si istri menegakkan punggung. Menatapi wajah Joash dengan sorot mata yang sudah tak fokus. "Kamu siapa?"
Alih-alih menjawab, Joash malah menempelkan bibirnya ke Rei. Mencium di sana dengan penuh perasaan.
"Joash." Rei berucap tepat di depan wajah Joash.
"Ash," ralat si suami.
Rei tertawa. Kegelian entah karena apa. "Kamu sayang aku sebesar apa, Joash?"
Rei mabuk, 'kan? Joash menjawab tanyanya sendiri. Pria itu menaruh tangannya di atas kepala Rei. Turun, membuat usapan di pipi merah si istri.
"Sebesar dunia, Rei. Selamat, kamu berhasil membuat aku sesayang ini sama kamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
عاطفيةRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...