Rei menguatkan pegangan pada ponsel, usai membaca pesan yang Joash kirimkan. Pria setan itu semakin menjadi setiap harinya.
Membawa selingkuhan ke rumah. Bukan hanya sekali itu, tetapi hampir tiap malam setelahnya. Membuat Rei terpaksa pindah tidur ke ruang tamu berkali-kali. Joash juga semakin jarang pulang. Jarang bicara, sekalinya membuka mulut, pastilah berisi hinaan. Suaminya itu benar-benar berubah setelah mengetahui fakta yang ada.
Malam ini, pria itu kembali berulah. Barusan mengirimi Rei pesan untuk mengantar air minum ke kamar yang tengah Joash pakai bersama seorang wanita. Stok sabar sudah habis, Rei mengutuki pria itu seraya mengantarkan segelas air.
Perempuan itu nyaris muntah saat mendorong pintu kamar dan mendapati pemandangan menjijikan di ranjang. Joash bersandar pada kepala tempat tidur, sedangkan wanita yang dibayar pria itu ada di bawah, menunduk di antara kaki si lelaki.
Terdiam beberapa saat di dekat pintu, Rei mendengar Joash memanggil.
"Bawa kemari airnya, Rei."
Cengkeraman jemari Rei mengetat pada gelas sembari kakinya berayun ke dekat ranjang. Sumpah serapah dan semua makian ia sebut dalam hati. Ingin sekali rasanya menambahkan ludah ke air dalam gelas itu. Memberikan apa yang Joash mau, kemudian bersiap pergi.
"Kamu enggak mau bergabung, Rei?" Joash bangkit dari ranjang. Berdiri, lalu menghampiri si istri. Ia peluk perempuan itu dari belakang. "Kamu enggak kangen aku?" bisiknya di telinga Rei.
Rei memejam. Bukan karena gairahnya terpancing, tetapi demi menahan rasa mual dan sesak. Perempuan itu menggeleng cepat. Sudah akan berjalan pergi, tetapi belitan lengan Joash di perut menahannya.
"Aku mau kamu juga di sini. Aku minta hak aku malam ini."
Sungguh, rasa tak nyaman itu semakin menjadi. Perut bergejolak hebat, kepalanya mendadak pusing kala tangan dan mulut Joash mulai bergerak seirama. Memberi usapan, gosokan di sana-sini. Kecupan, gigitan dan ciuman di beberapa bagian tubuh. Alih-alih terbakar gairah, yang ada Rei sungguh malu.
Ia hilang muka karena diperlakukan Joash demikian di depan wanita asing tadi. Rei merasa dirinya bahkan lebih rendah dari wanita yang Joash bayar itu. Ia disentuh setelah sang suami bermain dengan wanita lain. Jijik.
Apa harus sampai sebesar ini penghinaan yang harus Rei dapatkan? Apa keputusannya bertahan di sini adalah benar? Rei ini masih manusia yang punya akal dan harga diri atau hanya sosok manusia dengan jiwa binatang yang merasa pantas menerima semua perlakuan ini?
"Tolong, Ash. Aku enggak mau." Rei melawan otaknya. Usai dibuat Joash terbaring tak berdaya di atas ranjang dengan kaus sudah terlepas, perempuan itu buka suara.
Laki-laki di atas mengangkat wajah, menatapnya dengan sorot yang merendahkan. Rei menggeleng dengan bibir gemetar. Sesuatu meluncur dari ujung matanya. "Aku enggak mau."
Melihat reaksi Rei, alih-alih puas dan senang, Joash malah merasa kalah dan marah. Pria itu menarik diri, turun dari ranjang. "Keluar kamu," ujarnya pelan, nyaris tak terdengar.
Rei masih berusaha mengendalikan diri agar tak ada isakan yang lolos dari mulut. Matanya menutup erat, berusaha mengatur napas.
"Keluar!"
Teriakan Joash membuat Rei semakin merasa kecil. Perempuan itu bangkit dari tidur, sebisa mungkin mengelak bertatapan dengan wanita di ruangan itu, seraya memungut kausnya dari lantai. Tanpa melihat Joash, ia pun pergi dari sana.
***
Entah sekarang pukul berapa, tetapi Joash masih belum melihat Rei masuk ke kamar mereka. Ruang tamu lengang, begitu pun kamar yang di dekat dapur, yang kata Rei ingin ditempati.
Teman kencan malam ini sudah pulang beberapa jam lalu. Joash sengaja tak langsung keluar kamar. Ia tak ingin muncul di depan Rei, saat istrinya itu masih terjaga. Namun, setelah hampir dini hari begini, perempuan itu malah tak terlihat di mana pun.
Memeriksa dapur, Joash melihat pintu menuju halaman belakang terbuka. Kakinya melangkah ke sana, entah kenapa sangat hati-hati dalam bergerak.
Awalnya sayup-sayup, perlahan suara isakan menjadi jelas. Dari halaman belakang. Di ambang pintu, mengintip, Joash akhirnya menemukan istrinya.
Rei tengah duduk di dekat pohon, membelakangi pintu, punggung perempuan itu bergetar.
"Aku enggak mau di sini."
Joash menatap nanar ke sana. Jadi, di sini Rei. Menangis, sendirian.
"Pergi dari sini, Rei. Kamu enggak malu?"
Sempat ragu jika isakan dan ratapan pilu itu hanyalah trik Rei untuk membuatnya merasa bersalah, Joash tertegun dengan raut wajah terluka kala menyaksikan Rei memukul-mukul dada.
"Kamu bisa kerja, Rei. Kelaparan atau jadi gelandangan enggak pa-pa. Daripada di sini dan dihina terus."
Joash gamang. Tangannya tanpa sadar meremas celana pendek yang dikenakan. Pria itu merasa bersalah, marah dan kecewa.
Inginnya segera menghampiri Rei, melingkupi punggung sempit yang terlihat ringkih itu dengan dua lengan seerat mungkin. Membujuk Rei agar berhenti menangis dan mengenyahkan semua pikiran dan rencana tadi. Namun, kebohongan yang sudah perempuan itu lakukan masih belum dapat Joash terima.
Ia pernah sangat percaya bahwa Rei mencintainya. Ia bahkan sudah benar-benar jatuh hati pada sang istri. Namun, apa? Rei tak pernah menaruh hati. Yang selama ini ditunjukkan bukan kasih sayang apalagi pengabdian. Hanya sandiwara demi mendapat sokongan biaya hidup dan diberi tempat tinggal.
Lalu, sekarang, apa yang harus Joash lakukan? Dirinya gamang, bimbang, dan terluka. Akan lebih mudah jika Rei meminta perpisahan. Namun, memikirkan hal itu, Joash menilik ke hatinya. Siapkah ia kehilangan perempuan itu?
![](https://img.wattpad.com/cover/324256587-288-k128563.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...