Penglihatan Rei buram. Segalanya terasa berputar-putar, membuatnya sedikit mual. Tak lagi berdiri, perempuan itu berjongkok di depan kompor. Istirahat sejenak, untuk mengumpulkan tenaga.
Joash sudah mengetahui semuanya. Maka Rei harus bersikap amat baik atau ia akan dibuang. Maka itu, walau masih merasa luar biasa pusing pagi ini, Rei memilih turun ke dapur untuk membuatkan sarapan.
Sudah kembali berdiri, perempuan itu menyalakan kompor. Menaruh wajan di atasnya, sembari sesekali menggeleng dan mengerjap demi menghilangkan rasa pusing yang ada.
"Kamu enggak perlu masak."
Pria itu berdiri di belakang tubuhnya, Rei melihat tangan Joash memadamkan kompor.
"Kamu belum sarapan, 'kan? Sebentar la--"
Joash meraih dua bahu Rei, membawa perempuan itu agar berbalik dan menatapnya. "Kamu enggak perlu masak!"
"Kenapa?"
Menatapi dua mata coklat Rei bergantian, Joash menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya kasar. "Aku enggak mau makan makanan yang dimasak sama tukang bohong!"
Bohong. Joash sedang mengelak. Pria itu tak ingin Rei menyadari rasa khawatirnya. Melarang Rei memasak adalah karena ia cemas karena sang istri masih terlihat kurang sehat. Wajahnya pucat, jalannya saja masih lemas dan beberapa kali sempoyongan.
Rei yang mendengar kalimat itu awalnya ingin percaya. Namun, saat dirinya yang hendak limbung segera mendapat rangkulan dari lelaki di depan, perempuan itu pun akhirnya paham bahwa suaminya hanya sedang berbohong.
Perempuan itu mengulas senyum. "Kalau kamu larang aku masak cuma karena cemas aku belum sehat, itu enggak perlu, Ash. Aku ini udah baik-baik aja. Aku sehat dan kuat melakukan apa pun."
Joash menaikkan dagu, matanya menyipit. "Jangan besar kepala. Aku sama sekali enggak cemas."
Rei mengangguk saja. Ia kembali menyalakan kompor dan menuang minyak goreng. Perempuan itu menggoreng tahu yang sudah disiapkan untuk menu sarapan hari ini. Namun, lagi-lagi pijakannya goyah. Tubuhnya nyaris jatuh ke depan dan terkena wajan yang panas, jika Joash tak sigap menahan.
"Jangan keras kepala, Rei! Kamu mau mati?"
"Enggak pa-pa, Ash. Aku bisa. Aku kuat. Kalau aku enggak kerja, kamu bakal marah dan itu enggak baik untuk hubungan pernikahan kita."
Rahang Joash mengetat, serupa dengan belitan lengannya di perut Rei. Kembali memutar kompor hingga mati, pria itu mengangkat Rei dalam gendongan.
"Kamu kuat, 'kan? Kamu mau tetap pura-pura mengabdi sebagai istri yang baik, 'kan?"
Tampak terkejut beberapa saat, Rei mengangguk pelan.
"Kalau gitu bukan masak. Lakukan yang lain. Ini juga akan buat kamu aku pandang sebagai istri yang sebenar-benarnya, istri yang baik."
Pekerjaan lain yang Joash maksud adalah tugas Rei di ranjang. Sepagi itu dan suaminya menuntut hak. Rei tak mungkin menolak. Ini kewajiban. Walau tak menikmati dan lebih sering menyuarakan rintihan sakit daripada suara lenguhan tanda nikmat.
Joash terlihat lain kali itu. Mata pria itu yang terus menatapnya menghantar rasa dingin yang mengusik di hati Rei. Tak ada lagi kalimat-kalimat pujian seperti sebelum-sebelumnya. Rei hanya mendengar Joash mengeram, mengumpat dan berkata lebih frontal dari yang sudah-sudah.
Rei meyakini bahwa tak ada yang berubah di pernikahan mereka setelah Joash akhirnya mengetahui yang sebenarnya. Perempuan itu menggaungkannya dengan percaya diri pada sang suami berkali-kali. Namun, hari ini dirinya tertampar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...