"Ash," panggil Rei pada suaminya yang tidur memunggungi.
Malam kemarin, Joash datang. Ikut tidur di ranjang yang sama dengan Rei, sampai pagi ini. Sesuatu yang sepertinya sudah lama tak mereka lakukan, sejak Rei dijadikan tawanan.
"Ash." Rei menarik bahu pria itu, sebab panggilannya tak kunjung mendapat sahutan.
Membalik badan, Joash menguap, lalu membuka kelopak mata lebih lebar. "Apa?" tanyanya dengan suara serak.
"Ayo cerai. Aku bisa penuhi syarat kamu. Aku udah punya kerjaan."
Dahi lebar Joash berlipat dalam. Pria itu membawa tubuhnya duduk. "Kerjaan apa?" tanyanya seraya mengucek mata.
"Aku punya teman SMP. Namanya Putra. Kami dekat waktu sekolah, dan sekarang dia lagi butuh ART. Gajinya cukup, disediakan tempat tinggal juga."
Satu alis Joash meruncing mendengar itu. "Laki-laki?"
Rei mengangguk.
"Udah nikah?"
"Udah cerai setahun lalu."
"Kamu tinggal di rumahnya?"
Kembali perempuan itu mengangguk. "Kerjaannya cuci, gosok, masak. Yang beres-beres
rumah udah ada katanya,"jelas si istri.Terdiam sebentar, Joash terbahak. Hambar. Tawar. Tawa itu perlahan redup, si lelaki menatap datar pada istrinya. "Kamu kira aku bodoh, ya?"
Rei berusaha duduk dengan bantuan Joash. "Aku ada bukti chat-nya. Kamu mau lihat?"
Ponsel yang Rei sodorkan Joash ambil dan taruh di atas kasur. "Jangan gila kamu, Rei. Pikir kamu, aku bakal izinin anak aku ikut terjerumus sama kamu?"
"Terjerumus?" Heran Rei.
"Dia duda, kamu janda. Serumah. Aku yakin kamu bukan cuma diminta menghangatkan makanan, tapi juga ranjang dia."
Joash bisa menebak itu dengan cepat. Teman lama. Perempuan dan laki-laki? Hanya teman? Zaman apa ini hingga Rei pikir bisa mengelabui Joash?
Mendengar asumsi Joash, Rei memutar mata. "Enggak semua orang pikirannya kayak kamu, Ash. Putra itu baik, sejak kami SMP du--"
Joash mengangkat telunjuk. "Jangan teruskan, Rei. Pokoknya, enggak. Enak aja anak aku mau disiram dan dicampur sama bibit orang! Jijik aku sama kamu, Rei."
Joash turun dari tempat tidur mereka dan masuk ke kamar mandi. Rei membuang napas kasar. Sudah putar otak menemukan solusi, malah berakhir sia-sia seperti ini. Sekarang, bagaimana? Apa ia harus terkurung terus di kamar ini?
Kesal, perempuan dengan daster tanpa lengan itu membaringkan tubuhnya lagi. Menatapi bola lampu yang sudah padam di atas kepala, seraya mengumpati Joash.
Dulu, hampir tiap hari lelaki itu mengatainya murahan karena masih saja bersikeras tinggal di rumah ini. Sekarang, saat dirinya sudah siap angkat kaki, malah dihalang-halangi. Entah karena apa.
Rei sudah memikirkan. Anak yang ia kandung adalah milik Joash. Tanggung jawabnya pada anak itu hanya sampai dilahirkan. Sangat singkat mereka bersama, jadi Rei berusaha membuatnya bermakna.
Tinggal di sini dan terus-terusan stres melihat tingkah sang suami tak akan baik pada janin itu. Ia sudah beberapa kali mengalami pendarahan. Agaknya sudah harus belajar dari sana dan mulai menjaga diri sendiri.
Ia lakukan ini agar pikiran dan hati tenang, hingga makhluk di dalam rahim juga berkembang dengan baik. Namun, Joash malah bersikap egois, menentang keputusannya.
Apa Rei kabur saja?
"Kamu setuju atau enggak?" Perempuan itu mengusap perut lembut. Meminta saran. Ia tidak dijawab.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomantikRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...