Empat bulan. Usia kehamilan Rei itu dirasa cukup dan pantas untuk dirayakan.
Bianca sudah merencanakan acara syukuran lumayan besar. Makan bersama, doa bersama, mengundang semua kerabat dan teman. Namun, Rei menolak. Si menantu ingin acara sederhana saja. Cukup keluarga dekat dan sahabat. Makan bersama dan doa bersama.
Alhasil, sebuah acara digelar di hari minggu siang di kediaman Joash. Mengundang keluarga inti dan beberapa sahabat, acara makan bersama itu berjalan sesuai apa yang Rei mau. Sederhana dan tidak terlalu berisik dan ramai.
Sambutan, berbincang, doa bersama sudah selesai. Saat ini semua orang tengah menikmati makanan yang dihidangkan. Rumah Joash yang tak begitu luas pun jadi sedikit sesak. Membuat Rei sedikit tak nyaman dan memilih menepi sebentar ke halaman belakang.
Acara sederhana begini saja ia sudah lelah, konon mengikuti rencana Bianca? Seluruh keluarga Joash juga datang? Rei bisa-bisa muntah karena harus menebar senyum pada orang-orang itu.
Duduk di salah satu kursi kayu di bawah pohon mangga di halaman belakang rumah, Rei jadi ingat interaksi singkatnya dengan Reyan dan Sasa tadi. Bukannya menanyakan kabar atau memberi wejangan soal kehamilan, orang tuanya malah memintanya untuk tidak banyak tingkah.
Berita perceraian yang sempat Joash beberkan, sudah sampai ke telinga keluarga Rei ternyata. Kata Reyan dan Sasa, mereka cemas. Cemas jika Rei benar-benar dipulangkan. Mereka bahkan mengingatkan Rei untuk tak boleh pulang ke rumah, bila nanti sungguh ditalak Joash. Menyedihkan.
Rei tak mengharap banyak sebenarnya. Sekadar menanyakan kabar sebagai basa-basi sudah cukup. Ternyata, ia mendapat sebaliknya. Zonk.
Menghela napas, perempuan itu menatapi rumput hijau di depannya. Mengusapi perut, ia berdoa semoga nanti Joash tak memperlakukan anak ini demikian. Kasihan sekali jika Rei mewariskan nasib sial itu pada si janin.
Rei menggeleng kuat. Mengenyahkan bayangan itu.
"Kamu akan disayang sama keluarga dari ayahmu. Kamu lihat tadi, 'kan? Nenek sama Tante kamu itu bahkan udah siapin banyak hadiah buat kamu. Sama mereka aja nanti, ya? Jangan sama aku."
Lain dengan Reyan dan Sasa, Bianca dan Viona malah terlihat lebih peduli. Mereka menanyai Rei soal keluhan apa saja yang dialami. Belum lagi, selama ini ibu mertuanya itu sering menitipkan makanan lewat Viona.
Keluarganya Joash itu bahkan sudah membelikan banyak perlengkapan bayi untuk dipakai. Benar-benar sesuatu yang membuat Rei meratapi nasib.
Kenapa orang lain bisa bersikap begitu baik padanya? Sementara orang tua kandung, yang punya ikatan darah malah tak peduli sama sekali.
Rei menghela napas lagi. Sulit sekali hidup di dunia ini ternyata.
"Kebiasaan ngilang kamu, ya?"
Dari pintu belakang, Rei melihat Joash datang. Tidak sendirian, suaminya itu diekori tiga orang lain. Satu wanita, dua pria.
"Kenapa? Kakinya sakit? Atau perutnya?"
Rei menggeleng dengan raut wajah geli pada Joash yang menekuk lutut di depan kursi. Pencitraan sekali pria itu di depan orang-orang? Apa harus sampai memijat kaki begitu?
"Ululu. Manis banget, sih, kamu, Jo?"
Rei menoleh pada perempuan yang bicara itu. Orang itu mengulurkan satu tangan.
"Yola."
Menyambut dan menjabat tangan itu, Rei menyebutkan namanya. Ia sudah akan berdiri, tetapi Joash malah menekan bahu, membuatnya kembali duduk.
"Ini teman-teman aku. Ini Yudi, ini Yola istrinya. Ini Rudi, udah cerai sama istrinya." Joash memperkenalkan teman-temannya. "Mereka mau kasih hadiah katanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...