Membukakan pintu pada sang suami yang baru pulang, Rei hanya menatap datar ke wajah pongah itu. Pasti Joash merasa menang sekarang. Pria itu merasa berhasil menyiksa Rei beberapa hari belakangan dengan melakukan apa yang selalu dilarang.Terhitung sejak pertengkaran kecil mereka, ini hari keempat Joash pulang melewati tengah malam, padahal tidak sedang harus menjaga warung internetnya.
Laki-laki itu seolah ingin menunjukkan kekuasaan, memamerkan bahwa tak ada satu orang pun yang boleh mengaturnya, termasuk sang istri. Mulai menunjukkan sikap sebenarnya.
Joash pulang larut bahkan beberapa kali di pagi hari. Saat di rumah, kegiatannya hanya memainkan ponsel, entah itu sibuk dengan gim, media sosial atau bertukar pesan dengan entah siapa. Belum lagi jadwalnya kongkow-kongkow dengan para teman.
Jam tidur berantakan, makan tak tepat waktu, di luar hingga dini hari, semua itu Joash lakukan dalam rangka membuat Rei sedih dan kesal. Menurut pria itu.
Nyatanya, Rei tak pernah mempermasalahkan semuanya. Terserah Joash, ia hanya perlu berlakon selayaknya istri yang sangat mencintai suaminya.
"Kenapa? Enggak senang aku bangunkan di jam segini?" Joash bertanya seraya melepas satu per satu kancing kemejanya saat mereka sudah di kamar.
Pria itu yakin Rei amat marah sekarang. Joash sebenarnya punya kunci cadangan, tetapi malah membangunkan Rei untuk membukakan pintu.
"Kamu minum?" Rei yang berdiri di dekat tempat tidur bertanya. Ia bisa mencium aroma alkohol menguar dari Joash.
"Kenapa?" Pria yang ditanyai menoleh dengan senyum congkak. "Mau marah? Mengomel?"
"Kamu tahu itu enggak sehat, Ash." Rei menilik ekspresi suaminya. Memeriksa apa lelaki itu sekadar minum atau sampai mabuk. Jika mabuk, maka ia akan punya pekerjaan tambahan.
"Nyenyenye. Nyenyenye."
Oh, si sialan ini. Rei menggigit bibir geram. Tak mau berlama-lama di sana, perempuan itu membawa langkah keluar.
Tadinya Rei sedang di ruang tamu. Ia memang belum tidur, tetapi bukan untuk menunggui Joash. Rei sedang menulis, karena itu laptopnya ada di ruang tamu.
Saat tengah membaca paragraf terakhir yang barusan diketik, perempuan itu mendengar suara si suami.
"Kamu marah? Masih mau diam-diam begini?"
Diam kepalamu, Rei merutuk. Sejak kemarin, walau tidak sebaik biasanya, Rei tidaklah mendiamkan Joash. Pria itu saja yang terlalu berhalusinasi.
"Kamu mau pisah tidur? Kamu enggak mau tidur sama aku lagi? Mau tidur di sini?" Joash mendekat ke sofa ruang tamu yang Rei tempati. Pria itu berkacak pinggang dengan wajah merah.
Rei tak menyahut. Tangannya mulai memadamkan dan melipat laptop. Berjalan melewati Joash, lalu memaki saat menyadari pria itu mengekori.
"Kenapa? Berubah pikiran? Takut tidur di sana?" Joash mencecar istrinya dengan pertanyaan-pertanyaan memancing amarah. Namun, bukannya amukan yang didapat--tak seperti yang disangka.
"Aku masak air hangat dulu? Kalau enggak mandi, kamu pasti enggak bisa tidur." Berdiri di depan Joash, Rei mendekatkan wajah untuk membaui pria itu. "Mending kalau cuma bau keringat."
Joash menahan diri mati-matian agar tidak menarik wajah kecil itu untuk dicium. Pria itu berdeham. Memalingkan pandangan sejenak, sampai Rei kembali berdiri tegak.
Saat mereka kembali bertatapan untuk sebentar, Rei berjalan ke belakang Joash. Menyentuh pundak pria itu, menuntunnya untuk berjalan menuju dapur.
Rei membuat Joash duduk di meja makan. "Udah makan atau belum? Sekalian tungguin airnya hangat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...