Joash melempar tubuh ke sofa. Di luar, mentari sedang tingi-tingginya. Bersinar cerah, merekah. Membuat siapa saja harus menyipit jika ingin menatap ke atas.
Membuka kaus yang sedikit lengket, pria itu memejam di sana. Ini pukul satu siang. Tadi itu, Rei tiba-tiba punya permintaan aneh.
Joash diminta mengambil uang dari ATM Rei. Jumlahnya tidak banyak, hanya satu juta lima ratus. Saat Joash menawarkan untuk pakai uang yang ada di rumah saja, Rei menolak dan memaksa Joash segera pergi.
Hari ini Joash memang tidak pergi bekerja. Harusnya ia bisa main gim atau tidur-tiduran, tetapi malah disuruh ke luar. Walau tidak lama, tetap saja lelah, karena cuaca terik.
"Mana uangnya, Ash?"
Joash membuka mata dan menoleh pada Rei. Wah! Ada yang lebih panas ternyata. Joash hanya berniat menegakkan punggung sebenarnya. Namun, semuanya jadi tegak.
"Kamu mau ke mana, Rei?" Laki-laki tersebut mengeluarkan uang dari dompet.
Matanya tak mau berpaling. Rei siang itu mengenakan terusan dengan tali kecil berwarna peach. Berbahan tipis dan panjangnya jauh di atas lutut.
"Gerah, Ash," jawab Rei santai seraya menerima uang tadi.
Perempuan itu duduk di samping Joash. Menghitung lembaran merah di tangan dengan wajah berbinar. Lima belas, pas. Ia memandanginya berlama-lama.
"Kamu ngapain, Ash?" Rei beralih fokus saat merasakan gerakan halus di paha. Ternyata Joash tengah menggerakkan telunjuk naik-turun di sana.
"Ini. Nantangin," jawab si suami dengan senyum jahilnya.
Rei memukul tangan pria itu. Ia menaruh uang tadi di telapak tangan Joash. "Untuk kamu," katanya.
Dahi si pria berlipat. "Bayar utang?"
Kepala si istri menggeleng. "Ini hasil pertama dari nulis. Buat kamu semua."
"Mau pamer kamu?"
Rei memutar mata. "Untuk apa? Uang kamu lebih banyak."
"Itu tahu." Joash mengembalikan uang tadi, tetapi Rei menolak. Uang itu ada di tangan Joash lagi.
"Ambil. Terserah mau diapain. Aku kasih karena pengin aja. Kayaknya, kamu satu-satunya orang yang menganggap hobi menulis aku enggak aneh dan buang waktu. Jadi, itu semacam ucapan terima kasih. Walau sebenarnya enggak akan setimpal."
Uang sejumlah itu mungkin sedikit bagi Joash, tidak berarti. Namun, izin yang pernah pria itu beri saat Rei membeli laptop benar-benar berarti banyak. Hal itu memberi Rei rasa percaya diri. Ia merasa didukung dan dimengerti. Dan hasil pertama dari usaha itu, Rei ingin berikan pada Joash.
Mendengar penjelasan panjang dari istrinya membuat Joash tersenyum-senyum. Meleleh. Pria itu seperti terbang. Jadi, Rei menganggapnya istimewa hingga berhak menerima seluruh gaji pertama dari hobi menulis Rei? Wah, wah! Joash jadi terharu.
"Oke. Aku ambil. Yakin kamu, 'kan?"
Rei menggigit bibir, melirik pada uang di tangan Joash. Ia goyah. "Ambil satu lembar, boleh?"
Tawa Joash menggema. Ia mengangguk. Usai Rei mengambil yang diinginkan, uang tadi ia simpan. Akan ia taruh di tempat spesial. Tak akan dipakai untuk membeli apa pun. Bila perlu dipajang.
"Ngomong-ngomong, ucapan terima kasihnya ini aja?" Joash mengangkat tubuh Rei dan mendudukkan perempuan itu di pangkuan.
"Ngelunjak, ya, kamu? Aku cuma punya uang itu. Kamu lihat kan tadi isi ATM aku?"
"Siapa bilang aku mau uang?" Tatapan Joash turun dan naik. Mata, lalu bibir Rei ia pandangi penuh maksud. Sedangkan tangannya mulai bergerak.
Cuaca panas dibuat Joash semakin panas. Mereka sudah pindah ke kamar, pria itu berusaha membakar dirinya dan Rei dengan gairah. Joash tak bohong. Ia begitu merindukan Rei. Rei dan semua yang ada pada Rei.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...