Bab 43

2.2K 148 8
                                    

Dirawat beberapa hari di rumah sakit, pagi ini Rei diantar Joash ke ruang USG. Sudah tiga bulan usia kandungan, kata dokter, detak jantung bayi mereka sudah bisa didengar. Pun, sekaligus memeriksa apakah perawatan beberapa hari kemarin memang sudah memperbaiki semuanya.

Rei tak banyak bersuara sejak hari itu. Walau silih berganti Bianca, Viona, Naka bahkan Nia menjenguk, perempuan itu hanya menanggapi sekenanya. Tak ada senyum apalagi tawa yang harusnya dimiliki seorang wanita yang akan punya anak.

Hal itu disadari oleh Joash. Karenanya, pria itu senantiasa memasang raut cemas di wajah. Tidur tidak nyenyak, makan pun dilakukan terpaksa, hanya agar punya tenaga mengurusi Rei.

"Biasanya, orang tua yang mendengar detak jantung anaknya untuk pertama kali akan menangis karena bahagia." Dokter kandungan itu mengoleskan gel pada perut Rei yang mulai kelihatan mengundak.

Joash yang berdiri di samping ranjang meremas tangannya sendiri. Jantung berdegup kencang sekali. Perut mulas dan napasnya cepat-cepat.

Bersamaan dengan itu, ada sensasi aneh yang menjalari dada. Terasa membuncah dan meletup-letup. Joash bahkan tak seperti ini saat menikahi Rei dulu.

Di tengah semua perasaan campur aduk itu, si lelaki merasa ada yang menyentuh tangan. Rei. Perempuan itu memegangi tangannya, lalu menyelipkan jemari di antara jemari Joash.

Makin tak karuan perasaan si lelaki. Joash malah ingin tersenyum lebar sekarang.

Kemudian, saat detak itu terdengar, Joash menyebutnya sebagai nada paling merdu di dunia. Detaknya teratur, seolah Joash sedang mendengarkan lagu paling menentramkan.

Hidup. Ada kehidupan di sana, walau yang terpampang di layar hanyalah gambar hitam putih yang perlu penjelasan dokter untuk dimengerti. Meski begitu, Joash paham. Dirinya berbahagia sekarang.

"Sehat. Detak jantungnya baik. Ukurannya juga."

Joash menoleh pada Rei. Matanya mulai berembun. Ia ciumi wajah perempuan itu bertubi-tubi dengan senyum lebar di wajah.

"Berharap anak perempuan atau laki-laki?" tanya dokter di sana.

"Perempuan, Dok." Joash menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari Rei. "Anak perempuan cantik, yang mirip ibunya."

"Wah, sepertinya Bapak sangat mencintai istri, ya?"

Mata Joash dan Rei bertemu. Pertanyaan dokter tadi sebenarnya bisa diabaikan. Paling hanya godaan biasa. Namun, tidak demikian bagi Joash.

Lelaki itu merasa pertanyaan tadi harus ia jawab. Seolah semesta ini menunggunya memberikan pengakuan. Semesta di dua mata Rei yang masih mengunci tatapannya.

Lalu Joash membungkuk lagi. Mengecup pelipis Rei lama, kemudian berkata, "Sangat." Embun yang sejak tadi menggenang tumpah perlahan.

***

Kalah dan mengalah.

Joash memilih mengaku kalah. Sikap suami tak setia yang selama ini ditunjukkan demi membalas sakit hati, akan diakhiri. Mengalah, ia akan menyudahi semua, tapi tentu dengan satu aksi pamungkas.

Pulang pukul delapan malam, Joash mendatangi Rei di ruang makan. Si istri tampaknya baru selesai makan. Lelaki itu juga memanggil Bela bergabung.

"Aku dan Bela akan menikah. Satu minggu lagi."

Ini puncak. Jika serangan terakhir ini masih tak ditanggapi Rei dengan semestinya, maka Joash akan mengakhiri semua. Mengaku kalah dan mengalah.

Di depan Joash, semula menekuri piring, Rei mengangkat wajah. Menatap Joash lama, lalu mengangguk pelan. Perempuan itu bangun dari duduk, membawa piring ke tempat cuci.

Joash dan Bela merasa bodoh. Mereka sama sekali tak mendapati apa yang sudah diperkirakan. Rei tidak marah. Masih saja bersikap biasa, layaknya tak tejadi hal yang besar.

"Kamu ...." Joash mengumpulkan suaranya yang tiba-tiba lenyap. Ini bukan yang pertama, tetapi patah hati ini masih saja terasa amat sakit. "Kamu enggak masalah dengan ini, Rei?"

Mata pria itu menyipit. Bentuk dari ekspresi ingin tahu, kecewa marah dan sakit. .

"Aku ingat ucapan kamu, Ash. Kamu enggak suka diatur, 'kan? Lagipula, aku sadar posisi aku. Aku ini cuma benalu yang numpang hidup sama kamu."

Sudah mempersiapkan diri dengan kemungkinan terburuk, nyatanya Joash tetap tak siap. Rasanya seperti ditikam berkali-kali. Murka, Joash menendang kursi makan hingga terjungkal dan berpindah dari tempat semula.

Bela memekik takut, mengambil langkah menjauh seraya menutupi telinga. Rei berbalik, menatap suaminya dengan binar mata redup.

Sebenarnya mau Joash ini apa? Diberi izin menikah lagi, dia marah. Dilarang, pasti juga akan marah. Rei lelah. Kondisi kehamilan saja sudah membuat pusing, sekarang si suami malah menambah sakit kepala.

Suami istri itu bertatapan dengan dua ekspresi wajah berbeda. Cukup lama, sampai akhirnya Rei buka suara.

"Kamu masih ada yang mau dibicarakan? Kalau enggak, aku mau ke kamar. Punggung aku pegal, Ash."

Semua ini memang tidak berguna. Setelah mencoba semua yang dia bisa, Joash hanya kembali mereguk kecewa. Tak menyahut tanya Rei, pria itu pergi dari sana. Meninggalkan rumah, mencari sesuatu di luar sana untuk dijadikan pelampiasan.

Namun, sebelum sampai di tempat yang dituju, Joash akan singgah sebentar di rumah orang tua Rei. Mertuanya mengirimi pesan. Untuk membahasnya, maka Joash memilih singgah sebentar di sana.

***

Panas. Malam ini terasa gerah sekali. Rei tidak bisa tidur, walau sudah mengganti kaus rumahnya dengan kaus yang lebih kecil dan tipis.

Merasa perlu mencari udara segar, perempuan itu meninggalkan kamar. Alih-alih merasa lebih baik, ia malah melihat sesuatu yang membuat suasana hati makin terbakar.

Joash baru pulang, membawa dua orang wanita. Bukan Bela. Tidak Tere atau Miranda. Menghuni ruang tamu, suaminya itu tertawa-tawa dengan perempuan yang baru Rei lihat. Ada kaleng bir di meja, dan mereka saling bersentuhan.

Bajingan. Beberapa jam lalu berkata akan menikahi Bela, sekarang sudah membawa wanita lain. Dua pula.

"Dia siapa?" Salah satu teman kencan Joash bertanya karena merasa risih terus ditatap Rei. .

"Lagi hamil." Yang satu lagi terlihat sungkan.

Joash tersenyum pada Rei. "Istriku," jawabnya tenang. "Aku lagi bosan sama Bela. Mau sama mereka dulu. Kamu pasti enggak marah, 'kan?"

Tak lama, Bela muncul di sana. Perempuan itu melempar sorot geram pada Joash. Kali ini, ia merasa pria itu sudah keterlaluan. Apa Joash lupa Rei baru saja pulih?

"Kamu bisa sewa hotel, Jo! Jangan keterlaluan."

"Jangan mengaturku!" Joash meraih kaleng bir, nyaris melemparnya pada Bela. "Tutup mulutmu atau kupotong lidahmu sekarang juga!"

Pria itu tak terima pada sikap Bela. Wajahnya merah karena berteriak dan amarah. Atau karena bir yang sudah diminum.

Bela tak membalas lagi, ia memegangi dua bahu Rei. "Ke kamar, aja, ya, Rei. Aku temani, ayo."

Rei menggeleng pelan. Ia tak memindahkan tatap dari si suami. "Bajingan," ucapnya disertai ringisan.

Si suami termangu. Ini pertama kalinya Rei memaki begini. Biasanya, perempuan itu hanya akan menatapi dengan sorot muak atau jijik, kemudian pergi tanpa kata.

"Bajingan kamu, Joash!"

....

Terima kasih sudah baca sampai bab ini. Sehat selalu. 💙

Fake Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang