Bab 12

1.2K 95 2
                                    

"Aku bisa mengurusi diriku. Jangan menganggu. Jangan mengaturku, Rei! Pergi tidur!"

Joash  kembali fokus pada permainan di ponsel. Pria itu tak mendengar suara apa-apa lagi sampai bermenit-menit kemudian.

Penasaran, ia yang melirik mendapati Rei nyaris memejam dalam posisi duduk. "Aku suruh kamu tidur di sana, Rei," ujarnya pelan. Masih dengan nada tak ramah.

Rei menggosok mata. Ia menggeleng. "Tungguin kamu aja. Kamu yang kerja seharian aja enggak tidur, aku juga harusnya enggak boleh enak-enak tidur."

"Terserah!" Sok ketus, Joash mengulum senyum. Rei sungguh istri yang diidam-idamkan semua suami.

Berusaha mengabaikan sang istri, Joash malah kehilangan minat pada gimnya. Pria itu jadi was-was karena sudah beberapa kali Rei hampir limbung ke samping dan terjungkal karena menahan kantuk.

Joash jadi kesal dan iba. Ia tatapi perempuan yang sudah sepenuhnya tertunduk dan memejam itu. Tubuhnya bergerak ke kanan dan kiri, seperti pohon kurus yang tertiup angin.

Saat Rei akan terjungkal ke belakang, Joash gegas melempar ponsel dan menangkap tubuh si istri. Pria itu tersenyum saat melihat wajah tertidur Rei dari dekat.

"Katanya ingin menunggui. Tukang tidur." Joash membawanya dalam gendongan, kemudian dibaringkan ke ranjang hati-hati.

Pria itu memakai celananya dengan benar, lalu ikut menyusul Rei berbaring. Satu lengan ia selipkan di belakang leher Rei. Ia membuat mereka rapat hingga Joash  bisa mengunci kaki Rei di bawah kakinya.

"Nanti sakit, Ash." Rei berucap dalam tidur.

Lengkungan di bibir Joash tambah lebar. Matanya berbinar, seolah ada bintang di sana. Pria itu melayang, sungguh.

***

Sebelum menuju kasir, Rei berhenti sejenak. Berdiri di pinggir koridor super market, perempuan itu memeriksa semua barang yang sudah masuk ke keranjang besinya.

Alat mandi, beras, keperluan dapur, susu dan camilan pesanan Joash, makanan instan, bumbu, tisu, dan sebagainya. Lengkap, perempuan itu kembali mendorong trolinya menuju tempat pembayaran.

Rei memilih antrean yang paling sedikit. Sebelum sampai di sana, ia merasa bahunya ditepuk. Saat menoleh, ia menemukan seorang wanita dengan bayi digendongan.

Wanita itu tersenyum. Rei berusaha mengenali wajahnya yang memang tak asing.

"Rei?"

"Nita?"

Ternyata benar. Wanita itu memang mengenali Rei, dan sebaliknya. Merek apernah satu kelas saat SMA dulu. Namanya Nita.

"Wah, makin cantik kamu, ya. Rei," puji Nita melihat penampilan temannya. Meski hanya mengenakan kaus dan celana jeans, di matanya Rei yang sekarang jauh lebih terurus. Temannya itu bahkan menggunakan riasan tipis di wajah.

"Apa kabar, Nit? Ini siapa? Lucu sekali." Rei mencubit gemas pipi bayi yang Nita gendong.

"Ini anak aku, Rei.. Yang pertama, baru setahun." Nita memperkenalkan. Menuntun tangan kecil putrinya untuk menyalami Rei. "Aku dengar kamu udah menikah. Tega, ya, undangan enggak sampai ke rumah aku."

Rei membasahi bibir, tersenyum menyesal. "Memang enggak dirayakan besar-besaran, Nit. Bukan cuma kamu yang enggak aku undang. Maaf, ya. Aku juga enggak tahu alamat kamu."

Nita mengangguk maklum. "Enak kamu sekarang. Enggak sangka kamu akan jadi istri orang kaya dan tampan pula."

Oke. Sekarang Rei penasaran dari mana Nita tahu dirinya sudah menikah. Wanita itu juga seolah tahu siapa yang menikahi Rei.

"Aku berteman sama Nisa di Facebook, Rei. Dia sempat posting foto nikahan kamu. Aku tanya-tanya dia."

Rei mengangguk saja.

"Aku iri tahu, waktu lihat wajah suami kamu. Sudah mapan, tampan pula. Benar-benar jatuh ke kasur kamu, Rei."

Lagi, Rei hanya bisa menanggapi seadanya. Ia tersenyum kecil. Perempuan itu sudah paham ke mana arah pembicaraan ini.

"Aku berharap bisa seperti kamu, Rei. Dulu, aku kira nikah bisa mengubah nasib. Nyatanya, masih gini-gini saja. Mungkin, karena suamiku cuma pegawai biasa kali." Nita tertawa.

Nah. Itu. Itu yang Rei tidak setuju. Menikah demi mengubah nasib. Dari mana jalannya?

"Kamu sudah enak sekarang. Suami banyak uang, tampan pula. Benar-benar berubah hidup kamu, Rei."

Jika saja Nita tahu. Jika bisa memilih, Rei tak akan mau menikah. Sendiri lebih baik. Tak perlu repot hidup dengan orang lain.

Kalau saja bukan karena ancaman dan ucapan kelewat menyakitkan dari Reyan, Rei tak akan menjebak Joash hingga mereka menikah.

"Karena berita kamu nikah, si Yuli jadi ikut-ikutan cari calon suami." Nita yang tak mampu membaca arti mimik Rei yang tunjukkan, terus melanjutkan cerita.

"Si Yuli bilang gini, daripada harus capek kerja, cari uang sendiri, lebih baik menikah dan seperti kamu. Tinggal tunggu di rumah, uang mengalir." Nita tertawa riang, seolah yang dikatakan tadi adalah sesuatu yang pantas.

"Aku sedikit tidak setuju. Tergantung suaminya juga. Kalau suaminya punya gaji pas-pasan sepeti suamiku, rasanya sama saja. Kepala tetap pusing memikirkan cara membagi-membagi pemasukan yang tak seberapa."

Rei mengeratkan pegangan pada trolinya. Tidak semua perempuan seperti itu. Rei memang memanfaatkan Joash, tetapi bukan karena uang pria itu. Maksudnya, tidak seluruhnya karena itu.

Rei butuh tempat berlindung, bernaung, selain rumah Reyan dan Sasa. Ia butuh tumpangan hidup yang stabil. Tunggu. Itu sama saja, 'kan?

Lelah memikirkan itu, Rei mendadak mual menyadari dirinya begitu rendah sekarang. Perempuan itu pun pamit dari sana.

"Duluan, ya, Nit. Hati-hati di jalan."

Berjalan menuju kasir, Rei berandai. Jika saja dirinya bisa lebih mandiri. Tidak perlu orang lain, jika Reyan dan Sasa mengusir, ia bisa menyewa rumah untuk ditinggali seorang diri. Namun, apa mau dikata. Gaji satu bulan terkadang tidak cukup untuk menutupi biaya transportasi. Bagaimana bisa menyisihkan untuk menyewa rumah.

Rei menyesal karena dirinya tak sepandai Nisa yang bisa lolos tes masuk perguruan tinggi negeri. Kalau saja demikian, mungkin ia juga akan lebih dihargai seperti adiknya dan memiliki pekerjaan yang lebih layak.

Sebut Rei putus asa dan bodoh karena menganggap menikah adalah satu-satunya cara agar bisa bertahan hidup. Namun, memang hanya itu yang bisa ia pikirkan sebagai solusi.

Setelah menikahi Joash, apa beban Rei sirna begitu saja? Tentu tidak. Beban yang lain malah satu per satu bertambah. Rei tertekan. Batinnya tersiksa karena harus menekan harga diri, berpura sebagai istri yang baik di hadapan Joash. Menjadi babu berkedok istri dari lelaki yang sama sekali tidak ia cintai. Menyedihkan.

Nita bilang hidupnya enak? Itu hanya yang dilihat orang luar. Jauh di dalam dirinya, Rei merasa terluka. Ia ingin bebas, tetapi malah harus terkurung dalam status sebagai istri.

Menikah adalah solusi? Sampai sekarang, Rei masih tak setuju dengan itu.

Fake Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang