Bab 49

2.1K 152 15
                                    

"Obatnya udah diminum, Ash?"

Rei yang baru datang menjenguk,  bertanya pada sang suami. Joash masih di rumah sakit hari ini. Besok terakhir, kata dokter setelahnya baru boleh pulang.

Selama suaminya di rumah sakit, Rei hanya menginap semalam. Selebihnya, ada Bianca atau Naka yang menemani Joash. Itu ide si ibu mertua, karena tak ingin Rei terlalu lelah. Senang-senang saja, si menantu tentu menurut. Satu-satunya pihak yang tidak senang akan keadaan itu adalah Joash.

"Ash?"

Pria yang dipanggil itu menoleh sinis pada istrinya. Meneruskan kegiatan dengan ponsel, ia berusaha terlihat benar-benar marah.

"Joash?" Rei naik dan duduk di tepian ranjang suaminya. Mengusap pelan rambut pria itu, berusaha membuat Joash menatap.

"Kamu peduli apa, sih, Rei? Suami dirawat aja, kamu datang cuma dua kali. Itu pun cuma nanyain udah minum obat apa belum. Enggak perlu kamu, perawat di sini juga bisa lakuin itu!" ketus si lelaki panjang lebar. Ia melepas ponsel, lalu berbaring menyamping ke kiri.

Rei tertawa saja ketika mendengar suaminya meringis. Joash berbaring ke arah yang salah. Pasti, luka di kepalanya tertimpa tadi.

"Hadap sini," ucap Rei lembut. Ia  memegangi lengan Joash. Tersenyum mengejek pada pria itu, lalu memeriksa lutut. "Udah enggak sakit kakinya?"

"Enggak usah sok peduli! Udah berapa menit kamu di sini? Udah sepuluh menit? Pulang sana!"

Hanya datang tiga kali menjenguk dalam seminggu ini, Joash hapal benar berapa lama istrinya akan tinggal. Hanya sepuluh menit. Bertanya sudah minum obat, memandangi, tersenyum mengejek, kemudian pamit pulang. Mengesalkan.

"Kaki udah enggak sakit?" ulang Rei.

"Enggak tahu!"

"Lukanya? Udah kering? Udah diganti belum perbannya?"

"Enggak tahu!"

"Kamu ini siapa, sih?"

"Enggak ta ... hu." Lelaki itu melotot.

Mereka berpandangan. Senyum Rei sudah hilang, perempuan itu menatap tenang pada si suami. Dan sudah. Begitu saja, kesalnya Joash sudah hilang.

"Naik sini. Muat." Pria itu bergeser, memberikan ruang selebar mungkin untuk bisa Rei tempati.

"Mau ngapain?" Bertanya seolah tak senang, tetapi Rei menurut. Ia ikut berbaring di samping Joash. Cukup lebar ternyata ranjang itu.

Joash meluapkan rindunya. Memeluk Rei, menciumi perempuan itu sampai puas.

"Kenapa? Kenapa kemarin kamu enggak kabur?" tanyanya saat menenggelamkan wajah di perpotongan bahu dan leher Rei.

"Enggak usah dibahas. Aku masih nyesal ini."

"Kenapa? Kenapa enggak lari?" Joash terus mengejar.

Sungguh, ia ingin tahu. Mengapa Rei membuang kesempatan itu? Joash bisa melihat jika niat untuk kabur itu ada. Jelas tergambar di mata istrinya. Lalu? Kenapa Rei tidak lakukan?

"Kamu mau dengar aku jawab apa, sih, Ash?"

"Alasan yang masuk akal kenapa kamu milih datang ke aku dan bukannya kabur." Joash menarik dagu Rei agar menatapnya. "Kenapa, Rei?"

Rei masih setia dengan raut tenangnya. Baginya, pertanyaan ini masih saja konyol. Kenapa Joash bersikeras harus mendengar jawaban yang sebenarnya masih Rei cari?

Benar. Rei sendiri tak tahu mengapa hari itu dirinya malah mendatangi Joash dan bukannya pergi. Sampai sekarang ia belum menemukan alasan yang tepat dan juga semakin menyesal saja.

"Rei?"

Didesak, sementara dirinya tak punya apa pun untuk disuarakan, Rei memilih mengalihkan Joash. Perempuan itu mendekatkan wajah mereka, mencuri satu ciuman dari bibir Joash.

Aneh, tiba-tiba saja jantung Rei berdetak cepat.

"Itu jawabannya?" Joash terkekeh. Ia mengusapi bibir si istri dengan telunjuk. "Artinya apa? Aku enggak ngerti."

Di tempatnya, Rei membisu dengan gemuruh di dada. Melihat Joash tersenyum seperti barusan, kepalanya mendadak pening. Makin bertambah-tambah saja pertanyaan di kepala Rei.

"Rei ...." Joash tergugu. Barusan, Rei kembali mengecup bibirnya. Perempuan itu bahkan memegangi dua sisi wajahnya sekarang.

"Kenapa?" Rei bertanya pada diri sendiri. Kenapa debar jantungnya makin tak karuan? Mana yang menjadi penyebabnya? Cara Joash menatapnya? Cara pria itu tersenyum? Atau ciuman tadi?

"Apanya?" Napasnya cepat, kepala Joash pelan-pelan kosong. Ia bingung atas sikap Rei.

Rei memiringkan wajah, kembali membenturkan bibirnya pada Joash. Hanya menempel beberapa saat, kemudian perempuan itu menarik wajah. Berdebar di dada dan panas di pipi. Rei merasa ada yang salah dengan dirinya.

"Udah." Joash malu dengan suaranya yang seolah memohon. Pria itu khawatir. Tidak dipancing saja, ia bergelora. Konon, jika Rei sengaja memprovokasi begini.

Rei mengabaikan ucapan itu. Ia menarik wajah Joash ke arahnya. Membuat bibir mereka bertemu lagi. Bedanya, kali ini, saat Rei hendak mundur, Joash menahannya.

Tidak menolak, Rei hanya mampu menerima dan sesekali membalas lumatan Joash. Tahu-tahu saja, pria itu sudah mengambil alih.

Rei tak bisa menjelaskan rasanya. Aneh. Seperti digulung ombak besar. Ia terengah, tersengal, tetapi malah ingin lagi dan lagi. Ini bukan yang pertama ia dicumbu Joash, tetapi Rei merasa gugup seperti pertama kali masuk sekolah saat SD.

"Ehem."

Mata sayu Rei menatap Joash yang juga menatapnya. Napas mereka berkejaran dan entah kenapa itu membuat Rei ingin tersenyum.

"Ini rumah sakit, ngomong-ngomong. Hati-hati, Perutnya Rei jangan sampai ditekan."

Kesadaran Rei mulai pulih. Ia mengenali suara tadi. Bianca. Pintu ada di belakang Joash, artinya, ibu mertuanya itu di sana. Baru saja ingin memikirkan kata apa yang pantas disuarakan, perempuan itu malah terdiam. Ia terpaku, sebab sekarang Joash sedang tersenyum padanya.

"Masuk bentar lagi, Ma, tolong?" Joash berucap pada ibunya tanpa menoleh. Dahinya dan dahi Rei ia satukan, Joash memejam.

Pintu terdengar ditutup, Rei ikut-ikutan menutup kelopak mata. Dua tangannya mengalung di leher Joash. Ia menikmati sensasi aneh yang begitu menguasai. Apa namanya, entah.

"Rindu, Rei. Aku rindu kamu."

Rindu kata Joash? Bukankah mereka bertemu setiap hari? Salah satu dari mereka juga tak pergi ke mana-mana. Sebenarnya, definisi rindu itu apa?

Saat Rei masih sibuk mengatur emosi yang aneh itu, ia merasakan usapan di pipi. Perempuan itu membuka mata dan mendapati Joash sedang menatapnya dalam.

"Apa perasaan kamu masih sama, Rei? Apa bagi kamu, aku ini masih Joash yang cuma ingin kamu manfaatin?"

"Kenapa memangnya?"

Lelaki itu menggeleng. Tatapannya semakin tenang, teduh, membuat Rei jadi merasa harus waspada.

"Aku merasa ... aku udah enggak keberatan kamu manfaatkan. Enggak pa-pa, Rei. Aku bersedia."

"Sampai anak kamu lahir, 'kan?"

Joash menggeleng. Mata pria itu berair. "Sampai kapan pun kamu mau. Selamanya? Manfaatkan aja aku sampai selamanya. Aku bersedia."

....

Terima kasih sudah baca sampai bab ini. Gimana kesannya? Pengin ending yang gimana, nih? Kita izinin Rei manfaatin Joash sampai selamanya?

Sehat selalu. Semoga apa pun kerjaan yang sedang kalian lakuin sekarang, berjalan baik, ya. 💙


Fake Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang