"Dia siapa?" Salah satu teman kencan Joash bertanya karena merasa risih terus ditatap.
"Lagi hamil." Yang satu lagi terlihat sungkan.
Joash tersenyum. "Istriku," jawabnya tenang. "Aku lagi bosan sama Bela. Mau sama mereka dulu. Kamu pasti enggak marah, 'kan?"
Tak lama, Bela muncul di sana. Perempuan itu melempar sorot geram pada Joash. Kali ini, ia merasa pria itu sudah keterlaluan. Apa Joash lupa Rei baru saja pulih?
"Kamu bisa sewa hotel, Jo! Jangan keterlaluan."
"Jangan mengaturku! Tutup mulutmu atau kupotong lidahmu sekarang juga!" Joash tak terima pada sikap Bela. Wajahnya merah karena berteriak dan amara. Atau karena bir yang sudah diminum.
Bela tak membalas lagi, ia memegangi dua bahu Rei. "Ke kamar, aja, ya, Rei. Aku temani, ayo."
Rei menggeleng pelan. Ia tak memindahkan tatap dari si suami. "Bajingan," ucapnya disertai ringisan.
Si suami termangu. Ini pertama kalinya Rei memaki begini. Biasanya perempuan itu hanya akan menatapi kemudian pergi tanpa kata.
"Bajingan kamu, Joash!"
Teriakan itu membuat Joash bangkit dari duduk. Ia bisa merasakan sekujur tubuh mulai gemetar pelan.
"Bedebah! Brengsek kamu! Harusnya kamu mati aja!"
Reinya menangis dan menjerit. Terdengar pilu, Joash merasa dua kakinya mendadak selembek agar-agar. Pelan, laki-laki itu mendekat ke sana.
"Jangan ke sini!" Rei melepas sandal rumahnya. Melemparnya pada si lelaki. Satu mengenai dada, satu tepat di wajah. "Kamu laki-laki paling bajingan di dunia ini!"
Terisak, Rei menumpahkan semua serapah yang selama ini ia telan. Perempuan itu lelah. Dan merasa sudah saatnya mengakhiri semua ini.
"Rei? Dengar dulu." Joash tak masalah bila istrinya marah. Namun, tidak dengan menjerit dan menangis separah ini. Rei bisa habis tenaga.
"Jangan sentuh aku! Aku jijik sama kamu!" Rei berusaha menepis tangan Joash yang memeganginya. Perempuan itu meronta dan terus berteriak.
"Dengar aku dulu. Napas, Rei. Napas."
"Bedebah kamu! Beberapa jam lalu, kamu bilang akan nikahi Bela. Sekarang malah tidur sama mereka! Anjing kamu, Nye! Anjing!"
"Iya. Aku salah. Aku salah, Rei. Tenang dulu. Napas, Sayang. Napas."
Tangis istrinya makin menjadi, Joash bahkan bisa melihat bibir perempuan itu mulai biru. Napas Rei tersengal. Ini tidak baik, sebab Rei terus saja meronta, terus berusaha untuk memukul dan menjauhkannya.
Joash mengeratkan belitan tangan di dua lengan Rei yang berusaha diangkat perempuan itu. Mengunci pergerakan tubuh Rei, ia membenturkan bibirnya pada si istri. Meniupkan udara ke sana.
Rei limbung dengan mata nyaris tertutup.
"Rei! Rei? Dengar aku, Rei. Jangan mati, Rei."
Panggilan dan tepukan di pipi membawa sedikit kesadaran Rei. Perempuan itu menarik napas dalam, membuangnya perlahan. Matanya mengerjap, kemudian menumpahkan hujan lagi saat melihat wajah Joash.
"Aku ... capek, Ash," aku-nya dengan suara lirih.
"Aku tahu. Aku salah, aku tahu." Pria itu membelai wajah si istri. Matanya mulai berkaca-kaca. Bibir yang bergetar itu bergerak. Membuka, lalu menutup lagi. Kata-kata yang ingin sekali disuarakan tertahan di tenggorokan.
"Perut aku sakit tiap kali lihat kamu nyentuh Bela, Ash. Rasanya sakit sekali, tiap kali dengar suara Bela pas kalian berduaan."
Duduk dengan memangku Rei di lantai rumah, kepala Joash jatuh tertunduk. Ia kalah. Benar-benar kalah. Mendapat apa yang diinginkan, ia berhasil membuat Rei tersiksa, tetapi bukan kesenangan yang diperoleh, melainkan hampa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomantizmRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...