Suara ketukan pintu terdengar tak lama kemudian. Malas berdiri, dan menjeda aksi pijatnya, Joash meminta tolong pada Bu Yuni untuk membukakan pintu. Tamunya muncul, Joash tersenyum ramah.
Reyan dan Sasa yang datang. Mereka menyapa Joash sekadarnya. Bertanya tentang kabar dan kesehatan si menantu, kemudian mulai berpindah ke topik utama maksud kunjungan kali ini.
Ada dua. Pertama, Reyan dan Sasa ingin menyerahkan cicilan pertama utang. Uang yang mereka pinjam dari Joash, sejumlah 20 juta, janji dibayar dengan menyicil. Bulan ini, mereka menyerahkan lima ratus ribu.
Tidak tahu ada perjanjian semacam itu antara suaminya dengan si ayah dan ibu, Rei hanya bisa menontoni dalam diam.
"Kami juga ingin membicarakan soal rencana perceraian kalian." Reyan terlihat sungkan, tetapi berusaha yakin.
Dahi Joash berlipat. Ia heran. Tak menyangka jika berita ini sudah sampai ke telinga orang tua Rei. Seingatnya, Rei tak pernah mengadu.
"Mamamu yang memberitahu. Beliau minta kami ikut membantu agar rencana itu tidak terjadi." Reyan menjawab pertanyaan sang menantu. Pria itu melirik tajam pada putrinya.
"Karena itu, Nak Joash." Kali ini Sasa yang angkat bicara. "Janganlah Rei diceraikan, kalau ibu bisa meminta. Terlebih, dia sedang mengandung."
Joash mendengar penuturan si ibu mertua, tetapi fokusnya tak penuh ke sana. Ia sesekali melirik pada sang istri yang sudah tertunduk. Ia juga melihat dua tangan Rei saling meremas.
"Dia ini memang keras kepala. Sulit sekali dinasehati. Karena itu, kamu sebagai suami harus sabar-sabar mendidik dia."
"Entah apa yang ada di pikirannya hingga selalu tak becus soal apa pun. Entah itu sekolah, pekerjaan dan bahkan rumah tangga." Reyan mulai tak sungkan menunjukkan emosi. Pria itu terlihat geram pada putrinya.
"Kalau kira-kira Rei memang susah dididik, kami tidak keberatan jika Nak Joash bersikap keras. Terkadang itu perlu dilakukan. Janganlah sampai bercerai. Malu. Muka ibu dan ayahnya akan ditaruh di mana jika ia dipulangkan ke rumah, dalam kondisi hamil pula. Akan jadi gunjingan tetangga. Jadi aib, bikin malu ke--"
Perkataan Sasa disela Joash. Pria itu mengangkat tangan kanannya ke depan wajah, sedangkan yang kiri sudah meraih tangan Rei.
Joash menatapi dua orang di hadapan. Ia menarik napas dalam, sebelum membuangnya kasar. "Rei tidak akan dipulangkan."
Satu yang Joash tunggu sejak tadi sebenarnya. Ia menanti dua orang itu menanyai kabar Rei. Menanyakan perkembangan kehamilan istrinya, meminta dibagi cerita soal keluhan-keluhan Rei. Namun, apa?
Mertuanya malah berbicara soal perceraian. Itu pun, bukan menasihatinya, malah seolah menyalahkan dan menyudutkan Rei.
"Saya tidak akan menceraikan, Rei." Kali ini Joash mengeraskan rahang saat mengatakan itu. "Rei tidak akan dipulangkan. Tidak akan diusir. Tidak akan pergi ke mana-mana. Tidak akan kembali ke rumah Ibu dan Bapak. Reiasa akan sama saya. Bersama saya, ke mana pun saya pergi. Dia tidak akan pernah saya terlantarkan."
Lirikan Reyan pada Rei yang masih penuh dengan sorot amarah membuat Joash benar-benar dongkol. Pria itu lanjut berkata, "Saya terima cicilan utangnya. Sudah malam, Bapak dan Ibu bisa sakit jika kelamaan di luar rumah. Sebaiknya pulang dan istirahat. Terima kasih sudah menjenguk Rei."
Joash yakin. Alasan Bianca membeberkan rencana perceraiannya dan Rei bukan untuk meminta Reyan dan Sasa melakukan hal seperti tadi. Sebaliknya, Bianca pasti ingin mertuanya itu memarahinya. Bukan menghina dan merendahkan Rei seperti tadi.
Bukan Joash yang dipermalukan, tetapi pria itu merasa sakit hati. Konon Rei. Maka Joash tak heran ketika Reyan dan Sasa pamit, sesuatu dari mata Rei tumpah. Jatuh, tepat mengenai punggung tangan Joash.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...