Rei tak bisa tak tersenyum saat menyaksikan halaman belakang rumahnya disulap jadi dapur dadakan. Ada kompor, panci besar, meja berisi bahan-bahan seperti tepung beras, gula merah, daun pandan, kelapa dan masih banyak lagi.
Joash tidak main-main. Pria itu benar-benar meminta Bianca mewujudkan keinginan Rei. Sekarang, rumah mereka ramai. Ada Viona, Nia, Yuda, Yola, Rudi, Nisa dan kedua orang tua Rei yang Joash ajak untuk ikut membantu.
"Tolong, ya, Ibu Rei jangan ikut kerja. Kita enggak mau disemprot Bapak Joash yang sok itu." Yuda yang menyadari kehadiran Rei berkata dengan senyum di wajah. Pria itu tengah memeras kelapa, diperintah oleh ibunya Joash.
Joash yang sedang memasang selang gas menoleh ke arah Yuda menatap. Lelaki itu melempar senyum. "Mau apa? Tunggu di depan aja."
"Kalian doang yang boleh seru-seruan? Aku mau ikut."
"Oke. Hanya duduk dan memperhatikan, ya. Duduk sini, dekat mama." Bianca memerintah dengan wajah serius. Tak lama, wanita itu tersenyum pada si menantu yang sudah duduk di sebelah. Di antaranya dan Sasa.
"Udah cuci tangan, 'kan, Yud? Aku juga mau ikut makan nanti." Rudi yang menaruh panci besar di atas tungku menatap ngeri pada Yuda. Temannya itu memeras kelapa tanpa sarung tangan.
"Biar tambah rasa, Rud. Tenang, makin enak, kok." Yuda mengangkat alis jahil ke sana.
"Yuda! Pakai sarung tangan. Ini yang mau makan Rei." Viona berteriak.
Tersenyum lebar, Yuda mengangguk paham. Lelaki itu mendatangi istrinya dan meminta dibantu memakai sarung tangan plastik.
Sekali lagi Rei menatap sekeliling. Kali ini, ramai tak membuatnya merasa risih atau tak nyaman. Ramai di halaman belakang rumah kali ini benar-benar membuatnya tak bisa berhenti mengulas senyum. Rasanya senang sekali.
Orang-orang di sana, mayoritas baru ia kenal setelah menikah dengan Joash. Namun, lihatlah. Mereka bersedia datang, ikut mewujudkan apa yang ia mau. Dan semua ini karena siapa? Karena laki-laki berkaus biru yang saat ini tengah bicara dengan Reyan di dekat kompor.
"Kamu tahu, Rei?" Bianca memulai konversasi seraya menuang tepung ke dalam mangkuk besar. Wanita itu tersenyum pada si menantu yang balas menatapnya. "Pas tadi Joash datang ke rumah, mama kira mama itu lagi mimpi."
Bercerita seraya tersenyum lepas, Bianca tak bisa menutupi raut bahagianya. Tadi itu, saat didatangi Joash, ia benar terkejut. Pasalnya, si anak tak langsung mengutarakan maksud kedatangan, malah tiba-tiba memeluk.
"Aku sayang Mama." Bianca menirukan ucapan si bungsu. "Sumpah, mama kira mama lagi ngigau. Terakhir Joash bicara begitu waktu SD."
"Dia memang punya banyak cara supaya maunya dituruti, Ma. Mungkin itu trik." Rei menimpali dengan senyum tersungging di wajah.
Bianca mengangguk mengamini. "Mama kira awalnya gitu. Tapi, mama bisa lihat matanya berkaca-kaca. Beneran kayaknya. Dan pas mama tanya kenapa tiba-tiba begini, dia bilang karena kamu."
"Aku enggak bilang apa-apa sama dia, Ma." Ada raut heran di wajah Rei.
"Karena dia lihat kamu yang secinta itu sama anak kalian, dia jadi nyadar kalau selama ini udah banyak salah sama mama, kata dia." Mertua Rei itu tertawa. "Baguslah kalau dia sadar mengandung anak itu bukan perkara mudah. Mama makasih sama kamu Rei."
Dahi Re berlipat. Ia sebenarnya tak paham mengapa Bianca harus berterima kasih padanya. Namun, terlalu malas juga untuk mencerna.
"Dia juga bilang kalau kalian enggak akan jadi cerai." Kali ini Bianca melempar senyum lebar pada sang besan yang sejak tadi mendengarkan. "Sampai mati, aku enggak akan mau ceraikan Rei. Gitu kata dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...