Warning!
2+Pagi-pagi sekali, Joash dan Rei terlihat sudah bangun. Memang sama-sama tidak tidur, pasangan suami istri itu kompak tak bersuara selama sarapan.
Joash sesekali mencuri pandang pada mata bengkak istrinya, sedangkan Rei, sama sekali tak tertarik untuk menoleh pada wajah si pria.
"Kamu enggak takut tidur di kamar yang dekat dapur? Itu udah lama kosong."
Rei menggeleng. Ia tak menghabiskan nasi goreng di piringnya. Meneguk air dari gelas, lalu menatap wajah Joash. Terpaksa.
Membahas hal tersebut, artinya Joash sudah atau tengah membuat pertimbangan, 'kan? Rei harus berupaya agar hal itu disetujui. Sebenarnya tidur di ruang tamu bukan hal buruk. Jika Joash dan teman kencannya tidak keluar dari kamar tiba-tiba dan ikut-ikutan memakai tempat itu sebagai lokasi kawin.
"Kalau kamu mau kamar itu, kamu harus lakuin satu syarat dari aku." Joash menaruh sendok. Tatapannya lurus pada Rei. Tersenyum miring, pria itu siap melancarkan balas dendam lagi.
Kepala Rei mengangguk. Malas sekali membuka mulut pada pria bajingan itu.
"Aku mau kamu. Sekarang juga, masih ada dua jam sebelum aku kerja."
Rei menatap jidat lebar lelaki yang menjadi suaminya itu. Kira-kira isi kepala Joash apa? Sterofoam? Kaleng-kaleng? Atau parit busuk?
Setelah berkencan dengan beberapa perempuan selama beberapa hari belakangan, apa ia masih belum puas? Mengajak begitu, apa Joash tidak lelah?
Lama memberi jeda setelah tanya itu dilontarkan, Rei bangkit dari duduknya. Perempuan itu berjalan ke lemari pendingin. Mengambil satu kaleng bir dari sana, kemudian kembali duduk di kursi makan.
"Mulai malam ini, aku tidur di sana, ya, Ash?" Ia menarik kait kaleng untuk kemudian meneguk isinya hingga separuh habis.
Di bawah meja, tangan Joash mengepal kuat. Ia kira Rei tak akan mau menyanggupi syarat tadi, mengingat apa yang terjadi kemarin. Ternyata, perempuan itu terlalu banyak akal.
"Ash?"
Di kursinya, saat ini Joash tak lagi duduk seorang diri. Yang sudah mabuk telah duduk di atas pangkuan.
"Ayo, Ash. Cepat."
Perempuan itu mengalungkan tangan di leher sang suami. Merapatkan tubuh dan bergerak gelisah di atas Joash.
"Ngomong-ngomong." Rei mengusap bibir si lelaki. Matanya menatap sayu ke sana. "Kamu pernah bandingkan aku sama pacar-pacar kamu itu?" Perempuan itu tertawa. Sedikit kesulitan, beberapa kali hampir terhuyung ke belakang, ia berhasil menanggalkan kaus yang semula dipakai.
Joash mengumpat, memalingkan wajah ke samping. Tumben sekali istrinya tak mengenakan tank top hari ini.
"Membandingkan tubuh kami, maksudku." Rei memegang dadanya yang menggantung. "Punya mereka lebih besar dari ini, 'kan?"
Menelan saliva, Joash menghadapkan wajahnya ke depan. Apa yang Rei pegang saat ini adalah apa yang paling ia rindukan. Sudah berapa hari sejak terakhir ia dan sang istri bersama?
"Kalau dada sama bokong aku lebih besar dari mereka, pasti kamu enggak akan keberatan sama kebohongan aku, 'kan, Ash?"
Yang terakhir, Joash yakin Rei tidak sedang menyebut namanya. Karena sebelum perempuan itu selesai berucap, si lelaki sudah lebih dulu menyela.
Liuk bibir dan sentuhan yang Joash berikan selanjutnya adalah bentuk sanggahan atas perbandingan yang Rei buat tadi.
Rei tak akan pernah bisa dibandingkan siapa pun. Entah itu Miranda atau Tere. Siapa pun akan tetap kalah jika dibandingkan dengan Rei. Sebab bagi Joash, hanya Rei yang mampu memenuhi kebutuhan lahir dan batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Love
RomanceRei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyalah kedok agar bisa menumpang hidup. Benalu berkedok istri. Satu hari, kebohongan Rei akhirnya ter...