One [Revisi]

17.6K 509 1
                                    

001.

《》

Matahari sudah naik ke permukaan, sinarnya mulai menyentuh tanah yang basah karena embun pagi hari. Di suasana yang damai ini, seorang gadis cantik sedang menyapu halaman depan rumahnya dengan bersenandung.

"Ivy! sana ke halaman belakang juga!" suara wanita paruh baya yang masih tetap terlihat cantik itu diketahui adalah mamanya si gadis.

"Yaaah... Ivy kan baru mau istirahat, ma," tentu saja ia kesal.

"Udah sana biar istirahat sekalian kan," mamanya tak mau tahu.

Mau tak mau gadis yang kerap disapa Ivy itu berjalan gontai menuju ke halaman belakang sambil tangannya memegang sapu. Nama lengkap gadis itu adalah Yvonne Ludovica, anak kedua dari tiga bersaudara. Ia adalah putri satu-satunya pak Dean Anggara Khaliq dan ibu Sofiana Rajendra.

Ivy menyapu halaman belakang dengan teliti agar tak diomeli mamanya, bisa-bisa telinganya copot jika terus mendengar omelan mamanya tiada henti. Ah, itu terdengar lebay.

"Pfft, kasian... yang rajin ya kakakku yang manis," ejek si bungsu bernama Davindra Zayn Khaliq.

"Bantuin sini," titah Ivy kesal, bagaimana tidak si bungsu itu seharian hanya bersantai saja.

"Gak mau! itu kan tugas kakak sebagai perempuan," tolak Davin tegas sembari memeletkan lidah.

"Jangan malas-malasan doang kamu! jadi anak laki-laki kok gak ada gunanya" Ivy tak suka jika seperti ini, mau laki-laki atau perempuan semuanya sama.

"Kerja aja sendiri, kan yang disuruh kakak bukan adek," anak setan emang.

Tak!

Davin meringis ketika sebuah tangan dengan berani mendarat di kepalanya dengan kuat. Pelakunya adalah abangnya sendiri, Ravindra Zion Khaliq. Pria muda itu baru saja pulang dari Jakarta, ia bekerja sebagai Dokter di usia yang cukup muda yakni 23 tahun. Untung saja ia sudah bisa meringankan beban kedua orang tuanya.

"Sana bantuin kakak!" titah Ravin tak terbantahkan.

Dengan menghentakan kaki kesal, Davin langsung membantu kakak perempuan satu-satunya itu dengan tidak ihklas. Ivy menertawakan adiknya, ia menang.

"Abang mau kemana?" tanya Ivy saat abangnya berbalik.

"Ke depan sama papa, selesain cepat terus gabung!"

Ivy kemudian bergerak cepat melakukan tugasnya dibantu oleh sang adik. Selama setengah jam kemudian, aktifitas dua anak itu selesai. Mereka mencuci kaki dan tangan lalu bergabung ke ruang keluarga di mana sudah ada mama, papa, dan abang mereka.

"Udah selesai?" tanya pak Dean pada Ivy dan Davin.

"Iya, huuh capeknya...," jawab Ivy sambil mengeluh.

"Yaudah, papa langsung aja. Kita bakalan pindah ke Jakarta."

Ivy maupun Davin terkejut. "Apa?! Pindah?!"

"Pelan-pelan aja suaranya," tegur ibu Sofia dikarenakan telinganya berdengung.

"Iya, papa dipindah tugaskan ke Jakarta. Jadi, lusa kita langsung berangkat. Papa udah urus surat pindah kalian berdua, di Jakarta kita bakalan tinggal di rumah peninggalan kakek. Abang kalian udah beres-beres di sana," jelas pak Dean.

"Pantasan pulang! biasanya juga sebulan sekali baru pulang," celetuk Davin.

"Gimana Ivy sama Davin setuju kan. nak?" tanya mama mereka.

Kedua bocah itu mengangguk saja, jika mereka tidak mau memangnya mereka berani tinggal berdua saja di Bandung sedangkan kedua orang tua mereka di Jakarta. Mereka penakut!

"Terus rumah ini pa?" tanya Ivy penasaran.

"Papa sewa sementara, jaga-jaga aja mungkin kita bakal liburan ke sini bisa pakai rumah ini," jawab sang papa diangguki oleh Ivy.

"Yaudah, Ivy mah mana-mana aja. Kalo gitu, Ivy pamit dulu ke kamar, ngantuk!" pamit gadis itu langsung beranjak.

Di kamar, Ivy membaringkan tubuhnya ke ranjang sambil netranya menatap ke langit-langit kamar, ia merasa sedih karena sebentar lagi ia meninggalkan kota kelahirannya yang menghiasi setiap kenangan masa kecilnya. Belum juga teman-temannya, tetangga-tetangganya, rasanya Ivy tak tega meninggalkan ini semua.

Ia tumbuh dan berkembang di Bandung, tak rela sungguh ia meninggalkan tempat ini apalagi rumah sederhana yang menampung begitu banyak kisah suka maupun duka dirinya. Apalagi ia belum juga menemukan pacar, menyebalkan sekali.

"Kayaknya Bandung tinggal kenangan," ujarnya sebelum terlelap ke dalam mimpi.

Memang sedih rasanya harus meninggalkan tempat yang punya banyak kenangan bersama kita. Tapi, mau bagaimana lagi sudah tercatat dalam takdir Ivy seperti itu ya ia pasrahkan saja. Biarkan takdirnya melabuhkan dirinya ke tempat yang paling terbaik atas izin Tuhannya.

《》

Pagi sudah menyingsing, kediaman Khaliq kini riuh oleh tiga bersaudara yang sibuk mengecek bawaan mereka. Pak Dean dan ibu Sofia hanya bisa mengelus dada sabar, punya anak sulung yang konyol, anak kedua yang cerewet, dan si bungsu yang sukanya baku hantam memang bukan main.

"Ma, lihat kaus kaki adek gak?!" tanya Davin dari kamarnya.

"Udah mama suruh cari dari kemarin! siapa suruh," omel mamanya dari bawah, tidak pernah merasa pagi yang damai.

"Coba dicek baik-baik, perasaan kakak udah taruh di sini deh," Ivy berujar sambil memeriksa kembali bawaan adiknya.

"Oh ini kak," Davin berseru senang ketika ia sudah mendapatkan kaus kakinya.

Ivy menggeleng melihat tingkah adiknya, "Makanya cari pake mata jangan pake mulut, ish!"

"Udah dapat dek?" Ravin menyelipkan kepala di pintu kamar si adik bungsu.

"Iya dibantu sama kakak," jawab Davin.

"Yaudah yuk turun sarapan, mau berangkat," ajak Ivy.

Mereka pun turun kebawah dan bergabung bersama kedua orang tua mereka. Sarapan terakhir mereka di Bandung berjalan damai, Ravin membantu adik-adiknya memasukan koper mereka ke bagasi mobil. 

Setelah berpamitan pada tetangga mereka, akhirnya mobil audi abu-abu milik pak Dean meninggalkan pekarangan rumah lama mereka di Bandung dan menuju ke Jakarta. Hati Ivy merasa hampa meninggalkan semuanya di sini dan akan menempuh hidup baru di Jakarta nanti.

"Bandung, i love you more."

《》

Jangan lupa vote sama commentnya

Aku putuskan untuk merevisi sebagian besar alur cerita yang sesungguhnya agak gak masuk akal, maaf ya soalnya aku nulis dalam pikiran yang masih labil dan terima kasih buat pembaca lama yang udah selesai baca, thank you.

Kamu milikku! (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang