"Total semuanya adalah 127.000."
Kata seorang kasir wanita yang berada di belakang counter. Ia tersenyum dengan ramah.
Tadi aku dan Arya makan siang disini. Arya kembali ingin mengajakku makan bersama.
"Tunggu dulu mba, saya sekalian mau pesan boba milk tea 1 cup, cookies ini," tunjuk Arya ke cookies yang berada di dalam etalase yang ada di depan kami, "redvelvet 3 slice, sama cupcake-nya 5 pcs" tunjuk Arya di etalase bagian bawah, "Semuanya di takeaway Mba"
Apa Arya belum kenyang? Kenapa ia membeli cemilan manis sebanyak itu? Apa perutnya tidak akan sakit?
"Pak Arya suka itu semua?" Tanyaku penasaran
"Engga." Aku terheran dengan jawaban Arya
"Lalu kenapa Pak Arya beli makanan sebanyak itu kalau Pak Arya tidak suka."
"Itu semua buat kamu."
"Eh?"
Buat aku?
"Saya tahu kamu suka makanan manis." Kata Arya menambahkan.
Aku tidak tahu Arya masih mengetahui aku suka makanan manis.
"Ini Mas makanan dan minumannya yang mau di takeaway-nya." Kata Mba Kasir sambil menyerahkan dua kantong. Arya mengambil kedua kantong tersebut.
"Total semuanya jadi berapa Mba?" Tanya Arya
"Semuanya jadi 274.000 Mas" jawab kasir
Arya pun mengeluarkan kartu pembayaran dari dompetnya. Setelah itu kami berdua keluar dari kafe dan restoran tersebut.
"Ini kamu yang makan semuanya." Kata Arya saat kami berjalan beriringan menuju ke kantor perusahaan.
Saat jam makan siang tadi Arya mengajakku makan bersama. Kami makan di restoran dekat kantor. Jaraknya hanya ditempuh 15 menit dengan berjalan kaki. Itu tidaklah terlalu jauh.
"Loh? Tapi…"
"Ini minum. Cuaca sangat panas." Kata Arya memotong perkataanku sambil menyerahkan cup boba milk tea.
"Terima kasih, Pak Arya." Kataku mengambil minuman tersebut.
Setelah menyesap minuman segar nan manis itu aku kembali berbicara, "Pak Arya, saya tidak bisa memakan semua camilan manis itu. Apalagi tadi kita sudah makan dan saya sangat kenyang."
"Kamu bawa pulang juga saja. Omong-omong bagaimana keadaan Nenek?"
Hah?
Mengapa Arya tiba-tiba bertanya tentang keadaan Nenek?
Mungkin karena Arya melihat raut keheranan di wajahku ia segera berkata, "Saya sudah lama tidak bertemu dengannya. Terakhir kita bertemu saat saya main ke rumah kamu waktu sekolah dulu."
"Nenek baik-baik sa--
Kalimatku terhenti akibat melihat sekelompok orang yang tengah berkumpul di drpan pintu masuk gedung perusahaan.
"Itu ada apa ya?" Gumamku.
Dari tempatku aku melihat dua orang yang tidak asing di penglihatanku. Aku merasa kenal mereka.
Segera aku mendekat ke arah kerumunan itu dan, "Kami berdua ingin bertemu keponakan kami. Kami ingin masuk dan bertemu dengannya" Itu adalah suara Pamanku.
"Maaf, Bapak dan Ibu tidak bisa masuk. Khusus karyawan di sini saja yang boleh masuk." Kata satpam yang mencegah mereka
Ternyata dugaanku benar karena mereka tahu dimana aku bekerja.
Kemudian mataku dan sepasang mata bibiku bertemu dan segera ia berseru, "Itu keponakan kami! Dimas Herdian!" Sambil menunjuk ke arahku. Sekarang semua mata menatap ke arahku. Aku merasa tidak nyaman dengan semua tatapan itu.
"Mohon maaf semuanya, tolong bubar. Ini memang keluarga saya." Kataku. Orang-orang yang mendengar itu pun mulai pergi menjauh.
"Dimas! Teganya kamu berbuat jahat kepada kami berdua." Kata bibiku sambil memasang raut wajah sedih. Suaranya pun sedikit parau.
"Padahal kami berdua sudah merawatmu semenjak kecil. Kenapa kamu tidak tahu balas budi kepada orang yang telah merawatmu?" Kata Pamanku sambil memeluk istrinya.
"Kami telah merawatmu setelah kedua orang tuamu meninggal hingga kamu sebesar ini dan bekerja. Namun, sesudah belasan tahun kami merawatmu, kamu malah meninggalkan kami? Orang yang telah merawatmu?" Kata Bibiku
Apa? Omong kosong apalagi yang mereka bicarakan.
Akibat suara keras dari kedua orang dihadapanku ini, orang-orang yang tadi mulai pergi kembali melihat ke arah kami.
"Kenapa kamu berbuat setega ini kepada--
"Apa yang kalian inginkan?" Tanyaku memotong perkataan bibiku. Aku begitu kesal dengan apa yang telah mereka lakukan.
"Kami hanya membutuhkan sedikit uang." Aku mendengus mendengar jawaban bibiku ini.
Memang mereka berdua itu hanya datang kepadaku untuk alasan uang. Alasan apalagi selain itu?
"Aku waktu itu sudah mengirimnya." Kataku
"Uang itu tidaklah cukup. Bagaimana kita bisa bertahan di kota besar dengan uang itu." Kata Pamanku.
"Kamu sudah bekerja di perusahaan besar. Tentu saja gajimu juga besar. Menyisihkan sebagian dari gajimu untuk membantu kami itu pasti tidak akan membebani kamu."
Aku benar-benat muak mendengar perkataan bibi dan pamanku ini.
Aku mengambil dompetku dan mengeluarkan beberapa lembar uang merah di dalamnya dan melemparkannya kepada mereka sambil berkata, "Ambil ini dari keponakan tidak tahu diuntung ini. Setelah itu kalian pergi dari sini."
Dengan cepat kedua orang ini mengambil uang yang berceceran. Aku menatap dengan nanar.
"Aku tidak menyangka dengan sikap Sekretaris Di."
"Iya benar. Aku kira ia orang yang baik."
"Hanya orang berperilaku buruk yang memperlakukan keluarganya dengan cara tidak baik seperti itu."
"Seharusnya kalau ia tidak ingin memberi uang kepada orang yang telah merawatnya, ia menolaknya dengan baik."
"Ia tidak seharusnya melemparkan uang seperti itu. Itu sangatlah tidak sopan.
Banyak bisikan karyawan di sini yang aku dengar membicarakanku.
Mereka tidak tahu apa yang telah aku alami dan dengan seenaknya berasumsi seperti itu. Jika mereka berada di dalam posisiku, mereka tidak akan berani berkata seperti itu.
Aku menggigit bibirku menahan tangis dan mengepalkan kedua tanganku dengan keras.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Catch Me If You Can
Storie d'amore[ End ] Aku, Dimas Herdian, saat di akhir makan malam bersama Arya Baskoro aku mengatakan kepadanya agar kami tidak perlu bertemu lagi. Aku tidak ingin berurusan dengan orang yang membully-ku sewaktu SMA dulu. Namun sehari kemudian aku malah kembal...