PROLOG

38K 2.4K 15
                                    


DOSA tidak, sih, kalau aku melempar granat ke pengantin di pelaminan di depanku? Eh, harga granat itu berapaan ya? Apakah ada yang tahu? Di dark web pasti ada kan? Puluhan juta sampai tidak ya? Yah, kalau mahalpun aku bakal tetap beli, deh! Kalau ada yang tahu harga dan cara belinya please hubungi aku ya, Karina, 08112xx56x8. Pembeli serius! Jangan khawatirkan harganya! Semahal apapun, walau aku lagi bokek gara-gara resign dari tempat kerjaku sebelumnya, aku tetap beli, deh! Kalau bisa pakai eskpedisi dan kurir terekspres satu menit sampai! Karena aku butuh sekarang juga! Apa? Kenapa aku ngebet beli? Ya buat apalagi kalau bukan untuk membakar Yohan Yuwangsa hidup-hidup selagi dia duduk di pelaminannya?!

"Kar, Kar! Gue ke depan dulu ya, mau ngucapin selamat nikah ke BATOK lo."

"BATOK?" Aku mengernyit.

"Eh, maksud gue mantan sahaBAT dan mantan cowOK lo. AHAHAHA!" Frida, tim sejawatku dulu di YS Media, cekikikan seraya berjalan pergi meninggalkanku. Kalau dia bukan sobatku, kupastikan dia akan jadi babi laknat kedua yang kubakar hidup-hidup setelah Yohan.

Sebenarnya apa, sih, motif mereka mengundangku ke sini? Aku bahkan tidak lagi bekerja di YS Media. Aku yakin ada maksud terselubung di balik undangan ini! Antara mereka ingin memamerkan betapa klop kepribadian busuk mereka (yang memang sangat BEJAT!), atau ingin menjadikanku saksi hidup (dalamnya sudah tidak hidup, sih) dalam melegalkan hubungan mereka setelah sebelumnya terpergok melakukan asusila di depanku.

Satu-satunya alasan kenapa aku mau menghadiri undangan ini adalah karena aku Karina. Catat itu! K-A-R-I-N-A! Tugasku adalah membahagiakan diriku sendiri dan aku benci kalah. Mana mau aku mewujudkan mimpi indah mereka di mana aku menangis meronta-ronta dan tersedu di pojok kamar gelap. Apalagi menolak datang! Bahkan sesungguhnya, aku punya seratus rencana dan lima puluh ribu siasat untuk memporak-porandakan pernikahan ini!

Kulihat antrian panjang mengular bersiap menyalami suami-istri baru jadi itu. Maaf saja, aku tidak sudi melangkah ke panggung mereka. Semewah apapun dekorasinya!

Bosan sendirian, aku pun berkeliling, menghibur mata dengan wahana kuliner di deretan prasmanan. Walau aku belum sempat beli granat dan rencana mengeroyok acara pernikahan ini tak kulancarkan, mungkin saja ada kesempatan menambahkan sulfur ke semua makanan di sini kan? Biar mantan BATOK-ku melangsungkan honeymoon mereka di penjara!

Ketika sedang mengantri di prasamanan, tanpa sengaja aku melewati meja bundar putih berisikan para wanita yang duduk merapat, bergosip dengan suara keras.

"Gue, dong, pernah pacaran sama Teno." Cewek A menyahut.

"Oh, Teno Yuwangsa ya? Gue pernah ketemu Yohan lagi jalan sama Mamanya di mall," Cewek B menimpali.

"Kalau gue pernah satu SMA dulu sama Rangga," Cewek C nimbrung.

Ckckck.... Kasihan sekali wanita-wanita ini. Aku justru geli mendengar obrolan mereka. Yang saling membanggakan diri pernah memiliki hubungan dengan Yuwangsa. Mereka tidak tahu ya? Pria-pria dari keluarga yang katanya tersohor ini lebih mirip kurcaci cabul dibandingkan pangeran berkuda putih! Berlaku juga untuk Ibuku, yang meski bilang tidak menyukai Yohan, tapi terus saja berupaya menjodohkanku dengan Yuwangsa lainnya.

Dengar ya semua! Aku, mewakili seluruh wanita tak mujur yang pernah menjalin hubungan bersama salah satu Yuwangsa, dengan tegas memperingatkan! Jangan mau termakan bujuk rayu para pria dari keluarga itu! Jangan pernah melirik, melihat, menyentuh, bahkan berbicara dengan mereka. Kalau bisa jangan bernapas di dekat mereka! Bisa celaka!

"Kamu dendam?" Seorang pria di sebelahku tiba-tiba bertanya. Laki-laki itu juga sedang mengambil minuman di meja dessert yang sama.

"Ya?" Tanganku berhenti mengambil éclair dan black forest, tidak paham mengapa dia mengajakku bicara.

"Tadi saya dengar kamu merutuk," Pria itu polos memberitahu. Wajahnya datar, tapi sorot matanya dingin dan tajam.

"Masnya salah dengar kali," balasku. Siapa pria ini? Aku tidak kenal!

Acuh tak acuh aku melenggang pergi, berdiri sendirian di pojokan dekat vas bunga besar, dan mencomot kue yang kubawa. Tapi sepertinya barusan aku memang menyuarakan pikiranku, deh! Kalau tidak, berarti cowok canggih itu tahu pikiranku, dong?

Beberapa saat kemudian, saat aku tengah melumat black forest, aku melihatnya datang. Loh, tunggu sebentar... Aku kan tidak kenal pria itu. Tapi mengapa laki-laki berkemeja putih dan jas hitam tadi malah menghampiriku? Dia berdiri di sampingku sambil menyesap kopi.

Aku tidak mau repot-repot beramah-tamah dengannya. Jadi aku diam saja. Kami pun menontoni kehebohan hadirin di aula besar itu sambil menikmati santapan masing-masing.

"Kamu benar, memang nggak semua orang suka dengan keluarga Yuwangsa," ujarnya tiba-tiba, mencetus topik menarik.

"Memang!" Aku terpancing dan membalas dengan nada tinggi. "Sudah banyak teman-teman saya yang jadi korban buaian para predator keluarga itu."

"Ho," pria itu menoleh melirikku, "Kamu sepertinya punya banyak pengalaman dengan mereka," katanya tanpa mengubah kerut wajah sedikitpun.

Aku tidak terlalu suka basa-basi, jadi aku langsung memberinya nasehat penting. Kudekatkan kepalaku sedikit padanya, berbisik, "Kalau kamu punya saudara perempuan, saya saranin jangan menikahkan adik perempuan kamu dengan keluarga Yuwangsa." Menjawab wajah kebingungannya, aku menambahkan, "Mereka punya segudang pria brengsek." Saking brengseknya, siapapun wanita yang menikahi mereka pasti akan sulit kabur. Antara bingung pergi meninggalkan harta, atau bertahan meski tak cinta.

"Kenapa?" Ini pertamakalinya aku melihat laki-laki ini mengernyitkan kening, "Saya dengar Yuwangsa memperlakukan wanita dengan ksatria."

Aku tertawa getir. Duh, kasihan sekali wanita yang mendengar itu. Untung saja dia pria.

Iseng-iseng aku merogoh tas tanganku. "Berani taruhan?" Kukeluarkan KTP dan mengapitnya di kedua jari, menunjukkan sembarangan kartu identitasku, "Saya akan beri kamu status lajang saya kalau apa yang saya katakan terbukti salah." Pria itu mengangkat kedua alisnya, terpana. Aku tidak tahu dia siapa. Tapi dia pasti mudah kukalahkan. Dan toh, kita tidak akan bertemu lagi. Bye, bye, stranger!

"Menarik." Laki-laki itu meng-copy gerakanku. Dia mengeluarkan kartu identitas dan mengapit KTP miliknya di antara jari telunjuk dan jari tengah, seakan ingin menunjukkan bahwa dia punya nyali yang lebih besar.

Kulihat bibirnya sedikit menekuk saat menambahkan, "Saya terima tantangan kamu."

EXIT PLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang