"TRISTAN, kamu ngapain berdiri?" tanyaku sinis. "Aku yang bakal maju." Aku tidak akan menyerahkan bagian enak ini pada Tristan!
"Kamu nggak perlu ke mana-mana," ujarnya. "Biar aku saja, Karina."
"Nggak mau! Ini bagian aku!" Aku bersikeras.
"Kamu sudah sering menemani Troy," Tristan melangkah pergi, "Ini kesempatan aku."
Aku tak memedulikan Keenan dan lainnya yang keheranan melihat pergumulan kami.
Aku mengajar Tristan dan berjalan di sebelahnya. "Ini pertamakalinya Troy pensi. Aku ini kan Ibunya! Harus aku yang maju!"
Tristan menghela napas, "Karina, aku nggak mau berdebat."
"Siapa juga yang mau debat sama kamu?" Argh! "Sana, balik ke tempatmu."
Tristan tidak mendengarkan. Dia lanjut berjalan. Kulihat para orangtua sudah mulai menaiki gelanggang. Aku mulai panik karena kami semakin dekat dengan panggung. Kalau kita berdua sama-sama naik ke atas panggung kan malu! Lihat... semua anak hanya diwakili oleh satu orangtua!
"Tristan!" Aku tidak tahan lagi. "Kamu bukan siapa-siapa. Kamu nggak punya hak naik ke sana! Itu hak aku! Kalau kamu mau pergi tinggalin kita nggak usah sok mau buat memori manis!"
Seketika Tristan berhenti melangkah. Dia nampak berang. "Apa kamu sadar dari pagi ini kamu sudah keterlaluan? Aku nggak bisa toleransi lebih jauh dari ini, Karina."
"Wow," Aku menarik kepala, "Kamu nggak bisa toleransi aku? Wah, aku takut!" sindirku sambil tertawa sarkasme.
Tristan maju mendekatiku. "Apa sekarang ini aku kelihatan lucu buat kamu?" Sorot matanya tajam. Gesturnya sangat mengancam.
"Lucu?" Aku mendengus lantas balik menatap sama tajamnya, "Laki-laki yang nikahin aku cuma untuk menuntaskan rasa tanggung jawabnya yang setengah-setengah itu nggak ada lucu-lucunya sama sekali."
Kening Tristan mengernyit dalam. "Maksud kamu ap—?"
"Mbak Karina, Papa Troy..." Bu Yuni menyamperi kami. Wajahnya sedikit panik. "Kalau mau naik berdua juga tidak apa. Silahkan... Semuanya sudah menunggu, Mbak."
Aku mengedarkan pandang. Ya ampun! Rupanya kami sudah menjadi pusat perhatian sejak tadi! Semua orang menontoni aku dan Tristan yang tengah berdiri di dekat panggung.
Dengan malu aku berjalan cepat, menghampiri Troy di atas panggung.
Kulihat Tristan menolak ajakan Bu Yuni untuk naik ke atas panggung bersamaku. Setelah Bu Yuni pergi, Tristan tetap di sana, berdiri mengamatiku dan Troy.
Proses penyematanpun di mulai. Setelah berfoto bersama setiap anak memberikan lencana penghargaan pada orangtua masing-masing. Troy ternyata tidak hanya memberikan aku bross berbentuk piagam itu.
"Dari Papa sama Teloii," Troy menyerahkan kertas putih besar yang daritadi dipegangnya padaku.
Aku tersenyum bingung, "Dari Papa juga?"
Dia menunjuk kertas yang kini sudah di tanganku, "Rahasia laki-laki Papa dan Teloii!"
Aku ber-"ah!". Rupanya ini ya yang dia gambar berbulan-bulan lalu. Ya ampun, bikin penasaran saja, deh!
"Makasih Troy," ucapku, "Boleh Mama lihat sekarang nggak?" tanyaku.
Troy mengangguk kencang sampai rambut jamurnya bergerak lembut.
Aku pun membuka kertas besar yang terlipat itu. Sungguh, ini kertas gambar biasa yang banyak dijual di toko alat tulis. Crayon yang Troy gunakan bahkan sudah banyak yang patah. Tidak hanya itu, goresan Troy di atas kertas ini juga tidak bisa disebut lukisan. Sama sekali tidak beraturan dan terkesan awut-awutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"