MASIH empat tahun lalu, ketika aku sudah mendapatkan nomor telepon Tristan dari Ibuku. Keesokan paginya aku langsung menghubungi Tristan.
Jantungku berdegup kencang ketika mendengar nada sambung.
Mungkin itu adalah nada sambung terpanjang dalam hidupku.
Bila satu telepon sangat berpengaruh dalam hidupku, mungkin itulah dia. Inilah panggilan telepon yang akan menjadi penentu hidupku selanjutnya.
Ketika nada sambung hilang, aku mendengar suara seorang pria. Suaranya membuat aku mabuk kepayang, teringat malam itu saat kami sangat dekat sampai tak menyisakan jarak.
"Halo?" suara pria itu lembut dan bervibrasi khas.
Aku terbata, "Halo?"
"Ya?"
"Ini betul nomor Tristan?"
Tristan terdiam sejenak, "Dengan siapa?"
"Saya..." Aku sejujurnya sangat amat gengsi meminta pertanggungjawaban darinya. Namun aku tidak punya harga diri untuk diselamatkan hari itu. Ibuku juga terus mendesakku menghubungi Tristan. Maka dari itu aku meyambung, "Saya Karina."
Seakan nama itu sangat biasa untuknya, dia bertanya, "Karina yang mana ya?"
Ingin rasanya aku menonjok muka cowok itu! Sudah kuduga, aku memang tidak akan mau dipasangkan oleh cowok pembohong sepertinya.
Aku ternyata juga masih punya harga diri! Jadi aku berkata padanya dengan jutek, "Oh, oke, kalau nggak kenal nggak apa," kusambung sinis, "Makasih ya. Saya tutup dulu."
Aku tidak yakin, tapi aku mendengar Trista tertawa dari seberang, "Maaf, saya tahu itu kamu, Karina," balasnya lembut. "Bagaimana kabar kamu?" tanyanya.
Aku menggigit bibir. Rasanya ingin menangis karena dia menanyakan kabarku. Kabarku watu itu tentu saja tidak baik-baik saja. Dan mendengar pertanyaan itu membuatku ingin mencurahkan segalanya.
Namun aku tahan. Harus kutahan
"Kamu sudah benar-benar menipu saya, Tristan," Nadaku geram. Tapi entah bagaimana bibirku tersenyum.
Tristan menjawab beberapa detik setelahnya, "Saya nggak bermaksud menipu kamu, Karina," katanya. "Saya cuma nggak mau disukai hanya karena keluarga saya saja."
"Disukai?" Aku mendengus, "Kamu lupa saya nggak suka sama keluarga kamu?" Walau aku sudah tidak membenci atau apapun itu lagi. Aku hanya mengatakannya sebagai pancingan agar Tristan tidak terlalu percaya diri. "Sebenarnya kalau kamu cerita kalau kamu dari keluarga itu pun saya nggak masalah, kok."
Intonasi Tristan waspada, "Saya nggak yakin. Kamu jelas benci sepupu saya."
Aku terbahak, "Sepupu kamu memang brengseklah!"
"Ya," Tristan menyetujui, "Tapi apa kamu akan berpikir sama tentang saya bila saya kasihtahu kamu dari awal kalau saya sepupunya?"
Aku membisu. Dia ada benarnya.
"Lagipula saat ini KTP saya hilang," ujarnya. Aku tersenyum. "Saya yakin dalam pertaruhan kemarin nggak ada peraturan yang menang akan menyita KTP yang kalah kan?"
Aku tertawa, "Memang nggak ada," ujarku, "Kamu saja yang lupa minta."
"Atau kamu yang lupa kembalikan ke saya," tukasnya. Tristan membuatku banyak tersenyum hari itu.
"Yang jelas kamu sudah berbohong sama saya," Aku mendesau.
Tristan menyangkal, "Walau saya sudah memberikan KTP saya ke kamu? Seharusnya kamu bisa melihat KTP saya kapan saja malam itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"