"STOP! Stop! Stop!" Frida menghalau jari-jari tanganku yang hendak mengetik di keyboard laptop. "Lo mesti istirahat, Kar. Lo sudah jadi zombie selama seminggu terakhir."
"Iya, Frid, sedikit lagi. Dikit lagi saja." Berulangkali aku mengedipkan mataku yang mengantuk. Frida benar, aku butuh istirahat. Selama tiga hari belakangan, saat aku menjumpai bayanganku di cermin, aku selalu melihat lingkar gelap di bawah mata. Hal yang tak pernah aku miliki selama empat tahun menjadi Ibu Rumah Tangga. Bahkan dulu saat Troy baru lahir, dan dia menangis subuh-subuh minta disusui, aku tidak pernah merana begini.
Dari layar laptop kualihkan mataku ke wajah Frida. "Gatheringnya dua minggu lagi, Frid. Gue nggak bisa leha-leha." Setelah seminggu lalu mengatur jadwal dengan manajer SDM Lawson & Yan, gathering bersama Yuwangsa & Holding diputuskan untuk segera dilangsungkan. Kegiatan ini harus diadakan di pertengahan bulan depan agar tidak menabrak agenda besar kedua perusahaan seperti audit masif dan perekrutan karyawan besar-besaran sekaliber onboardingnya.
"Kalau acaranya jelek kan gue yang malu, reputasi Tristan juga bakal kecontreng."
"Loh," Frida bertolak pinggang, "Katanya lo benci sama Tristan?"
Aku tidak menghiraukan Frida dan membuat kolom baru di Excel laptop.
"Lo bilang lo mau reservasi tempat makan yang banyak kecoak biar Tristan diamuk sama karyawannya. Gimana, sih lo, Kar?"
Tunggu sebentar... tadi aku buat kolom Excel untuk apa ya?
"Tiap pagi lo nelpon gue cuman untuk misuh-misuhin Tristan karena mendadak kasih lo pekerjaan," ujar Frida kebingungan. "Dan lo yang bilang sendiri ke gue kalau Tristan sebetulnya pura-pura nawarin lo bantuan yang ternyata sebenarnya hukuman."
Bahuku merosot lesu saat kuhembuskan napas berat. Aku menganggukan kepala lemah, mengakui semua yang Frida nyatakan, "Iya, iya, lo benar, Frid, lo benar," kataku kuyu.
"Terus?" Frida masih memandangiku galak seperti emak-emak yang sebal karena anaknya tidak teguh pendirian, "Kok, lo, nggak boikot aja si Tristan? Aduiin ke nyokap-bokap lo."
Boikot? Rombongan masa mana yang bisa aku ajak untuk memboikotnya? Ngadu ke orangtua? Itu apalagi! Bukannya mengasihani, justru Ibuku malah akan membela Tristan, si menantu kesayangannya. Dan kalau Tristan sampai tahu aku mengadu ke Ibu, bisa jadi Tristan malah menambah pekerjaan baru untukku. Plus, Tristan mungkin akan membengkokkan fakta bahwa aku selingkuh dengan mahasiswa muda! Ibuku malah semakin terkompori. Aku pun tambah menderita. Ya begitu saja terus sampai jadi lingkaran setan!
Lagipula aku punya feeling kalau sebentar lagi aku bisa menikmati pekerjaan baruku. Selain karena manajer SDM dan tim Lawson & Yan sangat kooperatif, aku juga bisa lebih banyak punya kesempatan bertemu Keenan.
Awalnya kukira aku bisa bertemu Keenan setiap hari untuk mengecas energiku dengan senyumannya. Akan tetapi realitanya tidak begitu. Karena ternyata Keenan tidak magang setiap hari. Supervisornya juga sering mengajaknya pergi menangani sengketa di luar kantor. Dalam sepekan ini saja aku baru bertemu satu kali dengannya!
"Mama, Mamaa!" Kantukku otomatis meluap ketika mendengar teriakan riang Troy yang baru pulang mengunjungi rumah Mama Tristan bersama Mbok Sarmini. Kulihat Troy memasuki pintu rumah, sedang berlari-lari kecil menuju padaku yang tengah duduk di bar dapur. Saat dia berlari, potongan rambut ala jamur miliknya melambai lembut. Pipi embem dan kulit halusnya nampak sangat tipis hingga aku takut bila sewaktu-waktu dia jatuh, menangis, lalu berdarah.
"Mama, itu... anu....!" Troy berseru gamang sambil berlari. Putraku itu ingat ajaranku untuk membuka sepatu sebelum masuk ke rumah. Dengan sembarangan dia melepas sepatu kecil bervelcro dua warna hitam-putih miliknya di selasar rumah, lalu lanjut mendatangiku dengan terbirit-birit.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"