Plan 41 : KEENAN?! TERNYATA KAMU....

9.5K 1.1K 57
                                    



"SEKALI lagi makasih banyak ya, Mbak Karina."

Keenan duduk di seberangku. Kami sedang makan di restoran keluarga. Hanya berdua. Tidak ada Andy dan Troy yang biasanya kami ajak. Tidak juga ada Tristan dan Gia, hama sialan yang pernah merusak pertemuan kami.

"Kamu sudah terimakasih sama saya berkali-kali loh," Aku terkekeh, "Sudahlah, Keenan, nggak papa, kok. Dan sama-sama."

Keenan tersenyum. Sejenak dia memandangiku dan tersenyum. Senyumnya sendu. "Mbak Karina benar-benar ingatin saya sama almarhum Ibu saya, deh, Mbak."

Aku sudah tidak punya stock terkejut lagi. Aku iklhas lah dia mau menyamakanku dengan nenek buyutnya, tantenya, eyangnya.... Ikhlas khlas KHLAS!! Karena aku tahu sedekat apapun hubungan yang bisa aku rajut dengan cowok tampan ini, hanyalah pertemanan.

"Ibu kamu?" Aku menyeruput jus. "Ibu kamu mirip banget ya sama saya?"

Dia menggeleng, "Mbak Karina lebih cantik dari Ibu saya."

"Walah, kamu sudah bisa gombalin saya ya ternyata." Ah... Aku terpincut! Kalau hatiku adalah pin bowling, Keenan pasti sudah menggelindingkan bolanya hingga strike! "Calon playboy kamu, Keen! Hati-hati!" Aku terbahak. Keenan ikut tergelak.

"Yang maksud saya mirip itu keibuannya dan kocaknya, Mbak," imbuh Keenan. Dia kemudian menceritakan mengenai ibunya. Hal-hal yang disukai ibunya, kisah lucu mereka, bahkan bagaimana akhirnya Ibunya meninggal tiga tahun lalu.

Kuucapkan bela sungkawaku. Dan kebetulan saat ingin menghibur Keenan dari rasa sedihnya, seorang wanita hamil dan suaminya baru datang menempati meja agak jauh dari kami. Yang pria membantu mendudukan si wanita seolah istrinya bisa tergelincir kapan saja. Mereka mengingatkanku pada hari-hari ketika aku sedang mengandung Troy. Dan bagaimana perlakuan Tristan padaku kala itu. Keenan nampaknya menyadari aku memperhatikan mereka.

"Jadi ibu itu berat ya, Mbak?" Keenan meluruskan pandangan kembali padaku.

Aku tersenyum menggodanya, "Menurut kamu berat nggak?"

Jawaban Keenan membuatku terperangah, "Tergantung siapa suaminya, kalau menurut saya, Mbak." Wow. Pemikiran luar biasa.

"Kamu umur dua puluh tahun dan sudah bisa beropini begitu?" Aku tersenyum-senyum."Gimana ceritanya? Kamu pernah nikah?"

Keenan tertawa renyah menanggapi kelakaranku, "Sahabat saya ada yang nikah muda dan melahirkan, Mbak. Suami-istri ini sahabat saya dari SMA," paparnya. "Karena saya sering ketemuan dengan mereka, saya sedikit paham kalau nggak semua cowok itu ternyata cocok jadi suami. Apalagi jadi ayah." Sangat menarik mendengar perspektif Keenan. Sudah kuduga, cowok ini memang istimewa.

"Hipotesa kamu menarik, deh," akuku, "Atau mungkin," Aku menambahkan, "Cowok itu masih kikuk dan masih belajar buat jadi suami dan ayah yang baik. Kalau wanita itu kan pas ngelahirin langsung merasa resmi gitu jadi Ibu. Jadi juga ada keterikatan emosi sama anak. Tapi kalau cowok? Karena dia nggak ngerasaiin langsung beratnya hamil ya mungkin saja dia butuh lebih banyak waktu untuk nerima kalau dia itu seorang ayah. Apalagi kebanyakan suami itu kan sibuk nyari nafkah, nggak kayak Ibu yang lebih sering interaksi sama anak. Jadi saya maklum, sih, kalau ada cowok yang masih dinggap nggak cocok jadi ayah atau jadi suami."

Dan tiba-tiba saja, jawaban yang aku asal comot dari benakku itu, menyadarkanku.

"Expert banget, Mbak," Keenan tergelak, "Pasti pengalaman langsung. Pak Tristan juga seperti itu, Mbak?" Mungkinkah Tristan mengalami hal yang sama?

Aku baru sadar kalau selama aku hamil dulu, Tristan sangat telaten dengan kebutuhanku. Seperti yang pernah kukatakan pada Sasha dan Manda, Tristan memang rutin menemaniku senam hamil. Huh! Tapi tetap saja dia suami menyebalkan! Lagipula Tristan sendiri kan sudah mengatakannya, dia hanya BERTANGGUNG JAWAB!

EXIT PLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang