AKU pernah bermain aplikasi tanya jawab. Fitur popular utamanya berkonsep, "Anda bertanya, orang lain menjawab". Selama bermain aplikasi itu aku pernah mendapati beberapa pertanyaan yang sangat menggugah untuk dijawab. Pertanyaan itu melintas di beranda, sangat relate dengan hidupku. Tiga pertanyaan ini kumasukan ke dalam list 'answer later' tapi tidak pernah aku jawab-jawab :
1. Why are people with good hearts always unlucky in relationship?
2. Apakah lebih baik gaji kecil tapi santai atau gaji besar tapi banyak tekanan?
3. Apa pengalamanmu menjadi korban fitnah di tempat kerja?
ITU! Tiga pertanyaan yang ingin kujawab. Yang sebetulnya juga merangkum kehidupanku yang amburadul pada tahun-tahun terakhirku sebelum status di KTP-ku berubah menjadi kawin.
Karena aku belum jawab di aplikasi, lebih baik sekalian saja aku jawab di sini secara bertahap. Sulit menjawab semua pertanyaan itu satu per satu, jadi akan kujawab secara acak. Mungkin aku akan memulai dengan pertanyaan nomor satu dulu.
Sebelum itu aku ingin mengklarifikasi satu hal. Aku tidak tahu apakah aku termasuk orang yang baik hati (menurutku, sih, aku termasuk baik. Indikatornya aku tidak pernah memfitnah orang. Karena memfitnah lebih kejam daripada membunuh). Tapi, for sure, aku tidak butuh sedetikpun untuk memverifikasi aku orang yang tak mujur dalam percintaan.
Pacar pertamaku di SMA, Rendy. Aku tidak perlu repot-repot memergokinya makan bakso haha-hihi dengan cewek lain. Dia dengan dermawan mengaku sendiri sedang mendekati gadis lain. Dia bilang, "Aku belum bisa nambatin hati hanya di satu cewek saja, Kar. Maaf."
Dasar buaya! Menambatkan hati ndas lo? Memangnya lo masih punya hati setelah mengaku mempermainkan cewek? Hati siapa yang mau lo tambatin kalau lo saja nggak punya hati? Hati nenek moyang lo?
Kemudian ada pacar keduaku, Hilman. Pintar. Nerdy. Baik hati. Tapi pengecutnya tidak main-main. "Kamu ternyata punya banyak teman ya, Kar. Tapi teman-teman kamu kayaknya banyak yang ngerasa kita nggak cocok pacaran. Kamu yakin masih mau pacaran sama aku?"
Ujung-ujungnya? Dia sudah minder duluan. Putus dengan alasan aku terlalu punya banyak teman? Does it make any sense?
Sempat aku mati-matian mengatakan padanya, tidak penting apa yang orang katakan tentang kita. Yang penting kita sama-sama mau mengatasi kekurangan, terutama Hilman dengan stereotip negatifnya tentang hidup bersosial.
Tapi dia tidak mendengarkanku. Ya sudah. Kami putus permanen.
Next, ada Tito. Lebih tua dua tahun dariku. Gantengnya banget! Dulu pernah jadi model pasta gigi dan sabun mandi. Yes, sabun mandi! Yang ada cowok beradegan mandi meski pinggang ke bawah ditutup handuk mandi. Haha. Kalau tidak pakai handuk, LSF sudah akan turun tangan. Bisa repot.
Aku dan Tito pacaran secara LDR karena dia berkuliah di Boston. Sayangnya hubungan kami tidak lama. Layaknya Wifi, tercipta untuk terconnect dengan device lain. Tapi kalau ada device cocok terdekat di Boston, buat apa connect dengan yang ada di Indonesia?
Dan pacar terakhirku sebelum Yohan Yuwangsa, namanya Aldo. Dia sedang bekerja saat aku menempuh S2 di luar. Kami klop sekali! Dari cara mengatur keuangan, gaya hidup, selera makan, passion untuk belajar, sampai cara berpakaian.
Sayangnya hanya satu. Betul-betul hanya satu saja! Tapi sangat krusial.
"Berarti kamu nggak papa, Kar, sudah S2 tinggi-tinggi, pas nikah malah jadi istri yang nunggu suami di rumah saja?" Aku memahami pikiran Aldo dari caranya berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"