TAPI ternyata, aku salah.
Statusku sebagai istri Tristan tidak lantas memberiku privilege untuk jadi orang yang paling Tristan sukai. Apalagi dia cintai. Awal hubungan kami tidak senormal pasangan lain. Hubungan normal yang kumaksud adalah berpacaran, kemudian menikah, barulah punya anak.
Sedangkan aku dan Tristan?
Aku dan Tristan mengawalinya dengan salah. Relationship journey kami adalah mengenal satu malam, punya anak bersama, lalu menikah setelahnya. Lihat perbedaannya? Kami tidak sempat berpacaran. Kami kenal sambil jalan. Alias kenal sambil menikah. Persis seperti yang Ibuku inginkan.
Masalahnya, ini tidak mudah. Karena sejak awal, pernikahanku dan Tristan bukanlah pernikahan suka-sama-suka, tapi pernikahan karena-tanggung-jawab.
Ya, karena tanggung jawab.
Tristan pernah mengatakannya. Dan itu tidak salah.
"Tapi siapa bilang pernikahan karena-tanggung-jawab tidak bisa berakhir bahagia?" suara malaikat dalam diriku menyemangatiku. Awal hubungan kami boleh saja tidak runtut. Boleh saja tidak senormal pasangan lain. Tapi pasti cinta bisa terlahir dalam prosesnya. Tengok saja aku. Aku tiba-tiba saja menyukai suami menyebalkanku itu. Ralat, sebetulnya tidak tiba-tiba. Ada banyak proses curam dan terjal yang kalalui untuk mulai berani mencintainya.
Lalu, bagaimanakah dengan Tristan? Apakah dia juga menyukaiku?
Awalnya aku percaya Tristan menyukaiku. Ada banyak buktinya. Well, tidak terlalu banyak, sih. Pertama, dia makin banyak tersenyum. Kedua, dia sudah dua kali menciumku belakangan ini. Saat aku tertidur dan di hari pernikahan Sasha-Henri seminggu lalu. Hanya dua itu saja, sih. Tapi dua bukti itu sudah sangat menuju satu kesimpulan kan?
Bahwa suamiku menyukaiku balik. Normal, dong, bila aku merasa percaya diri, yakin Trisan bisa bertekuk lutut meminta cintaku. Karenanya aku pun percaya bisa membuat Tristan mengakui rasa sukanya padaku.
Namun rupanya tidak semudah itu, kawan-kawan. Easy love hanya terjadi di romancelandia! Tristan berhasil menarik ulur prasangkaku. Dia membuatku kebingungan. Entah apa dia benar-benar menyukaiku, atau hanya menganggapku sebagai pengisi waktu kosongnya, atau hanya tertarik pada fisikku saja? Bila dia benar-benar menyukaiku, bukankah seharusnya kami mulai terbuka menceritakan masa lalu? Contohnya seperti pengalaman kami, siapa saja mantan-mantan kami, kehidupan kami sebelum menikah, dan 1001 cerita lain yang belum kami ketahui satu sama lain. Harusnya ada ketertarikan emosional! Seharusnya Tristan ingin mengenalku! Dan terbuka padaku!
Tapi Tristan tak begitu. Sejak minggu lalu, yang kupikir adalah titik balik hubungan kami, suamiku itu tidak pernah menanyaiku apapun. Tidak juga menceritakan dirinya. Kalau dipikir-pikir, dia tidak pernah memperkenalkanku dengan teman-temannya. Aku bahkan baru tahu Barata dan Gia dari Sasha. Dan lagi, Tristan tidak terlihat tertarik dengan duniaku. Dia bahkan belum pernah mengajakku kencan satu kalipun sejak kami menikah.
Jadi, kembali ke pertanyaan semula, apakah Tristan benar-benar menyukaiku?
Bisa iya. Bisa tidak. Semuanya 50-50 sekarang.
Aku diingatkan kembali, kalau kita mau cinta maka kita harus berusaha menjemput cinta! Tapi yang susah adalah : bagaimana cara menjemput cinta, tanpa terlihat ingin cinta?
Aku memikirkan caranya beberapa hari belakangan ini, di tengah liburanku bersama Troy di Bali.
Orangtuaku pulang sehari setelah resepsi pernikahan. Dua hari kemudian aku, Troy, Sasha, Henri, bersama Mama Henri menyusul ke Bali. Kami sudah lebih dulu mencium aroma asin laut dan makan bumbu base genep yang aku rindu. Kalau menunggu Tristan kelamaan!
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
Literatura FemininaThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"