KAMI baru saja selesai fitting. Sasha dan Henri masih akan di sini mendiskusikan bajunya yang terlalu longgar serta ornamen gaun untuk hari H pernikahannya.
Jadwal Tristan hari ini tampaknya tidak terlalu padat. Aku mengetahuinya tadi, selagi mengganti baju. Ketika mencuri dengar percakapan Tristan dan Troy.
"Troy setelah ini mau ke mana?" Tristan bertanya.
"Jalan-jalan sama Mama."
"Ke mana?"
"Makan ais kerim sama main di Taim Zone."
"Papa boleh ikutan nggak?"
"Bolehhhh!"
Dari balik tirai, sambil melepas kebaya dan mematut kaca, aku pun tersenyum-senyum. Mendengar inisiatif Tristan meluangkan waktu bersama putraku bukan hal yang terjadi setiap hari. Troy pun melapor padaku sekeluarnya aku dari kamar ganti, bahwa Papanya akan ikut jalan-jalan bersama kami setelah ini. Dengan begitu aku tidak perlu memanggil Pak Pito untuk menjemput kami. Toh, juga kami akan satu mobil lagi.
Kami bertiga sudah keluar dari butik. Driver Tristan menjemput kami di pelataran. Aku baru saja akan mengajak Troy mendekati mobil ketika Tristan mengangkat panggilan di HP-nya yang berdering.
"Oke, gue berangkat ke sana sekarang," Tristan menjawab gawat telepon tersebut. Wajah kalemnya menegang. Aku tidak jadi berjalan ke mobil dan menghampiri Tristan.
Seusai mengakhiri telepon, Tristan menoleh padaku, "Karina, sepertinya kamu dan Troy harus panggil Pak Pito," katanya sambil mengantongi ponsel. "Maaf aku nggak bisa ikut kalian."
Aku sudah siaga, paham betul situasi Tristan dan kesibukannya, "Oke, nggak papa, kok. Aku bisa telepon Pak Pito." Menunggu Pak Pito pasti akan sangat lama. Dari rumah kami ke sini memakan waktu hampir satu setengah jam, belum termasuk macet di lunch hour.
Namun demi Tristan apa, sih, yang tidak mungkin kulakukan? Eh, bukan, bukan! Kenapa aku jadi terdengar akan melakukan semua hal untuknya ya? Biar kukoreksi kalimatku: Karena aku istri yang pengertian, maka aku rela mendahulukan kepentingannya.
Toh, juga biasanya juga hanya aku yang sering mengajak Troy main ke mall. Aku bisa memanggil Frida di jam makan siang kantornya nanti.
"Ya sudah kamu pergi saja, Tris," kataku mendorongnya supaya tidak sungkan meninggalkan kami. Tristan dengan tergesa masuk ke dalam mobil.
Jendela mobil diturunkan, Tristan nampak cemas menatapku, "Kamu dan Troy lebih baik tunggu Pak Pito di dalam. Di luar berbahaya."
"Iyaiya," Aku mengiyakan.
"Maaf aku tiba-tiba harus pergi," Tristan menyesal. Dia juga mengatakannya pada Troy yang berdiri di sebelahku, "Kita pergi besok ya, Troy."
Aku mengedikkan kepala ke jalan, "Sudah sana, Tris, buruan ke kantor. Nanti terlambat loh."
Tristan menggelengkan kepalanya, "Aku bukan ke kantor, Karina," ujarnya.
Aku menaikkan alis, "Terus ke mana?"
"Gia baru saja masuk rumah sakit. Aku harus ke rumah sakit sekarang."
Mendengar itu, bahuku langsung merosot.
Gia, Gia.... Andai saja kamu dan aku adalah pria berlipat lemak. Aku pasti sudah mengajak kamu tanding sumo di dohyo! Dan akan aku jungkirbalikkan tubuh kamu! Kupelintir tangan, kutarik kaki, kujambak rambutmu sampai aku puas!
Namun apalah daya? Tristan sudah betul-betul tergila-gila dengan kamu.
Dia bahkan rela loncat ke sampingmu, meninggalkan aku dan Troy saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"