Plan 01 : KEPERGOK TRISTAN

26.4K 1.9K 75
                                    


4 Tahun Kemudian

"APA?! LO SELINGKUH?" Larik ala sinetron menggema di koridor playgroup. Akibat seruan Frida tersebut, para guru dan orangtua yang menjemput putra-putri mereka memutar kepala menatap kami.

Plak! Kudaratkan satu tamparan berkekuatan gajah di bokong Frida. "Besarin aja lagi suara lo, Frid! Besarin! Mau gue pinjamin mik sama speaker sekalian?" sindirku, mengedutkan kening. "Ya kali gue selingkuh. Selingkuh itu repot, Frid! Repot! Butuh urus surat perceraian dululah! Pindah-pindah rumahlah! Keluar uang beli materai! Datang ke sidang! Banyak, deh!"

Frida meringis mengelus pantatnya, "Tadi lo bilang suka sama laki-laki lain kan, Kar?" Dia berjalan di sampingku dengan air muka menghakimi. "Di Indonesia kita punya istilah buat itu. We called it as 'nikung' alias affair. You've cheated on Tristan, Kar!"

Kudecakkan lidah, "Gue kan tadi sudah bilang, gue cuman suka ngelihat dia saja! Lihat! Bukan pegang-pegang! Ibaratnya dia itu kayak patung di museum! Terlalu indah buat disentuh! Sebatas mengagumi saja, kok. Mana bisa dianggap selingkuh, Frid!"

"Bullshit ah!" Frida mengibaskan tangan. "Lo itu Karina Yuwangsa, sudah menikah dan bersuami. Mana umur anak kalian sudah hampir tiga tahun pula. Cuman pengagum rahasia gundul lo! Gemar perhatikan cowok lain itu gejala awal dari tikung menikung."

Aku memutar bola mata. Sudah kuduga. Curhatanku ini tak muda diterima orang lain. Salah bicara sedikittt saja dikira selingkuh. Padahal kenyataannya? 180 derajat dari itu!

Demi Troy, tidak akan kubiarkan rumah tanggaku jadi tempat syuting FTV bertajuk "LAYANGAN BUNTUNG : EDISI HATIKU KEPINCUT DI ORANG KETIGA" yang dilagai oleh aku dan Tristan.

"Terus, Kar?" Frida bersedekap, berjalan di sebelahku dengan wajah penuh selidik, "Namanya siapa? Berapa umurnya? Lebih ganteng dan tajir dari Tristan nggak? Teknik bercintanya lebih jago dari suami lo atau bagaimana?"

Aku geleng-geleng kepala. Metriks penilaian Frida menilai kaum pria memang sangat dunawi. "Tristan nggak ada hubungannya sama ini, Frid."

"Ya adalah, dodol!" sergah Frida. "Atau jangan-jangan lo nggak cinta lagi sama Tristan? Jangan sampai kalian cerai cuma gara-gara hal sepele begini. Kalau benar cerai, cinta kalian cuma kaleng-kaleng dah!"

Cinta? Aku terkekeh. Aku dan Frida jelas tidak satu definisi dan sepemahaman dengan konsep pernikahan dan peran seorang suami. Umurku dua puluh lima tahun saat idealisme romantik milikku terpatahkan oleh realita. Dan Tristan adalah simbol dari kepahitan itu. Dijamin, aku tidak akan nikah-nikah bila masih jadi cewek hopeless romantic! Yang selalu bermimpi memiliki rumah tangga lovey-dovey sehidup-semati-(dan bahkan)-sekuburan.

Aku tak menggubris pertanyaan Frida dan mengalihkan topik, "Cowok yang gue suka ini kayaknya umurnya sembilan belas tahun, deh, Frid."

"Sembilan belas tahun?!" Frida tercengang, menganga, "Bocah dong, Kar!"

"Enak saja," dampratku, "Dia itu mahasiswa semester tiga. Bocah dengkul lo!"

"Pfft..." Frida menyumbat tawa, "Kita cewek-cewek sudah dua puluh sembilan tahun, Kar. Sembilan belas tahun, mah, masih ingusan," cibirnya, tertawa geli, "Tapi lo, kok, rakus sih, Kar, sudah punya suami cakap masih juga sambat berondong."

"Tristan itu memang suami, sih," aku mendesau, "Tapi cowok satu ini kayak angin penyegar dalam keseharian gue."

Frida terbahak, "Angin segar apa lagi coba yang lo butuh kalau punya suami kayak Tristan?" Dia melotot seakan pernyataanku adalah tabu. "Tristan itu ya, Kar..." Frida mengangkat jarinya satu per satu, "Mapan iya, baik iya, ganteng iya, dan yang paling penting kalian itu sudah suami-istri! Udah sah, terverifikasi, dan ngelakuiin apa saja sudah legal. Kalau cowok yang—siapa namanya? Yang diam-diam lo kagumin itu?—ya siapalah itu... adalah angin segar, terus si Tristan apa, dong, Kar? Angin topan?"

EXIT PLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang