SELAMA perjalanan menuju rumah, Tristan duduk memejamkan mata di sebelahku. Kedua tangan laki-laki itu terlipat di depan dada. Air wajahnya tenang. Tapi keringatnya dingin, mencucur di dahi hingga ke cukuran rambutnya yang rapi di atas kuping.
Berulangkali aku mengecek panas di kening Tristan sambil memegang roda kemudi mobil. Bukannya mereda, dahi Tristan malah terasa lebih panas daripada sebelumnya. Panasnya seperti wajan bekas pakai. Bahkan aku bisa merasakan hawa panas yang memancar dari permukaan kulitnya yang diselimuti jas hitam. Napasnya di sebelahku berderu hangat. Dan walau tubuhnya bersedekap kalem, bila kutelisik lagi, tubuh Tristan terlihat agak menggigil.
Nyaris sejam di perjalanan pulang tadi aku tidak berani menghidupkan AC mobil. Aku khawatir suhu badan Tristan bertambah kalau dia dibiarkan kedinginan.
Dan firasatku ternyata benar, suhu tubuh Tristan meningkat setibanya kami di rumah.
"38.6 celcius," Aku memberitahu Tristan hasil pengukuran suhu tubuhnya yang baru saja aku ambil ulang. Lupakan godaan setan yang menghampiriku saat aku membuka kemejanya untuk mengapit termometer tadi! Aku kini sudah cukup panik karena suhu badan Tristan berangsur-angsur naik. "Suhu tubuh kamu naik, Tris."
Tristan tidak menjawab. Gaya tidurnya persis seperti di mobil, hanya saja kini dia berpindah ke sofa ruang tamu, menutup mata, menyelonjorkan kaki, dan bersedekap.
Ya Tuhan, aku harus bagaimana, nih?
"Apa kita ke rumah sakit saja ya?" tanyaku gundah sambil gigit jari. Apa mungkin Tristan terkena demam berdarah? Atau tipes? Atau jangan-jangan virus?
Aku harus menemui dokter. Kalau tidak, dokternya yang ke rumah kami. Aku punya teman yang bekerja di Rumah Sakit Kharisma. Kalau tidak salah dia juga dokter panggilan.
"Nggak perlu, Kar," Tristan menahanku. Suara kecilnya nyaris tak bertenaga. Dia melanjutkan masih sambil memejamkan mata, "Aku istirahat di rumah saja. Pasti sembuh."
"Seenggaknya kita coba cari dokter," Aku membuka HP, mencari-cari nomor di kontak.
"Karina," Dia membuka mata lemas, "Jangan." Balasan irit Tristan menyusahkan aku untuk beradu argumen dengannya.
"Tapi kalau sampai nanti malam panas kamu nggak menurun dan kamu masih sakit, kita harus ke rumah sakit ya," Aku makin cemas, "Aku nggak mau tahu. Pokoknya harus."
Tristan hanya mengangguk lemah. Lantas dia tidur kembali.
Baiklah. Masalah ke dokter sudah kami sepakati. Sekarang, tugas pertamaku adalah menyeret tubuh Tristan ke kamarnya.
"Kalau gitu sekarang mending kamu pindah tidur ke kamar ya," ujarku, mengangkat lengannya, "Ayo pindah. Kalau kamu tidur di sofa sama saja kayak kamu tinggal di kantor."
Tristan geleng kepala, "Di sini saja, Kar."
"Nggak boleh, di sini dingin. Tuh, lihat keluar..." Aku mengedikkan kepala ke pintu kaca halaman belakang, "Sebentar lagi bakal hujan. Awannya tebal gelap. Kamu mau tambah masuk angin gara-gara tidur di sini?" Aku berkacak pinggang menatap Tristan terkapar di sofa.
Lagi-lagi dia menggeleng, "Di sini sudah nyaman. Tinggal pakai selimut. Bisa tolong ambilin aku selimut?"
"Nggak mau, ah!" Jangan harap aku mau menolongnya. Tristan bandel sekali, sih! "Kalau mau pakai selimut ambil saja sendiri ke kamar. Sekalian langsung tidur di kasur."
Mendengarku mengomel, Tristan mengubah posisi tidurnya. Dia mengabaikanku dengan membalikkan badan, tidur memunggungiku. Argh! Aku sebal sekali!
Tolong dong, suami-suami, kalau sakit dengarkan istri kalian! Maksud baik tapi diabaikan itu sakit, loh! Ya sudahlah! Toh, aku tidak perlu menunggu ijin dari Tristan. Aku kan hanya perlu memanfaatkan tubuhnya yang sedang lemah saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"