SUARA gemericik air hujan sayup-sayup terdengar. Di luar sana pasti sedang hujan deras. Aku membenarkan posisi tidurku, memeluk guling keras yang panas di sebelahku erat-erat. Rasanya aku sudah tertidur lama sekali. Aku tersenyum selagi masih memejamkan mata. Aku baru saja bermimpi indah tentang Tristan. Suamiku itu menggunakan collar berduri yang biasanya anjing gunakan dilehernya. Lalu dia melakukan semua hal yang aku suruh. Angkat tangan. Ambil bola. Lompat. Semuanya.
"Karina..." Seseorang menepuk tanganku, "Karina..." Dia menepukku lagi lebih keras. "Karina, aku sulit napas."
Suara tercekik itu tiba-tiba membuatku terjaga. Dalam sekejap aku membuka mata. Pandanganku langsung terantuk wajah Tristan. Tubuhnya dengan kalem bergerak meliuk-liuk, berusaha membebaskan diri dari kakiku yang mengkerangkeng badannya, menjadikannya guling, serta tanganku yang melilit lehernya sampai wajahnya nyaris biru.
Akibat dilanda shock bertegangan tinggi, spontan aku berteriak keras dan menendang badan Tristan. "Tristan, kamu ngapain?!" Kuhentakkan kakiku keras-keras sampai cowok itu terguling dan terjungkal jatuh ke lantai.
Terlambat kusadari, aku baru saja menyepak suamiku yang sedang demam!
"Ya ampun, Tristan!" Aku berseru gawat, merangkak ke pinggir tempat tidur. "Tristan!? Kamu nggak papa?!" tanyaku seraya menunduk menatap Tristan yang langsung terduduk di lantai.
Pria itu meringis. Wajahnya kala menahan sakit terlihat lucu.
Aku menutup mulut menahan tawa, "Maaf," kataku tidak tulus. "Kamu, sih, tiba-tiba di sebelahku!" seruku bersedekap. Tristan nampak berpikir apakah perlu menyahutiku balik.
"Aku daritadi tidur di sampingmu, Karina," katanya dingin sembari melepaskan diri dari lilitan selimut, membuatnya terlihat seperti kue gulung.
"Ya makanya jangan tidur di sebelahku," timpalku dengan wajah garang, diam-diam menahan senyum.
Tristan mendesau. Dia berhasil membuka gulungan selimut itu. Kaosnya basah oleh keringat. "Ternyata kalau kamu tidur suka banyak gerak ya," dia tersenyum kecil.
Aku tersipu, tapi berusaha terlihat galak. "Terus kenapa?" Daguku terangkat. Posisiku yang ada di kasur, lebih tinggi darinya, membuatku nampak sangat menantangnya.
Tristan pelan-pelan dan agak terseokberdiri dari lantai. Dia menenteng selimut di sebelah tangannya. "Kalau kamu tidur seperti itu, apa Troy baik-baik saja setiap tidur sama kamu?"
Sindiran yang dikombinasikan dengan wajah datar Tristan membuatku dongkol.
Aku menyambar bantal. "Berisik!" Kulempar bantal itu ke mukanya.
Dia menangkap bantal itu sambil tersenyum usil. "Aku cuma khawatir, Karina."
"Tiduran lagi sana." Aku turun dari kasur. "Nggak usah banyak gerak. Wajah kamu masih pucat." Dari luar jendela cahaya matahari senja yang ditutupi awan tebal memberikan sedikit penerangan. Kamarku nyaris gelap. Sepertinya ini sudah maghrib.
Aku berjalan menyalakan saklar. Saat lampu sudah berpijar, aku melirik jam dinding. Sekarang sudah pukul setengah tujuh malam. Di luar hujan sudah mulai mereda. Apa Troy, Mbok Sarmini, dan Pak Pito sudah pulang ya?
Saat hendak memeriksa HP sambil berjalan keluar dari kamar, aku baru sadar. Tadi sepertinya aku memang tertidur selagi mengawasi dan rutin mengganti kompres Tristan. Tapi kan aku ketiduran di kursi samping tempat tidur. Kenapa aku bisa pindah ke kasur?
Aku mendelik pada Tristan. Pasti dia. Kuambil termometer di atas nakas dan menghadap Tristan yang malah mengambil langkah pergi.
"Tristan, kamu mau ke mana?" Keningku mengerut.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"