"SETELAH ini kamu mau ke mana?" T bertanya saat aku sudah selesai berbicara dan Jenny kembali ke tempat duduknya semula di pesta penikahan ini.
"Pulang," Aku menjawab bosan. "Lebih baik mendinginkan kepala di rumah. Debat Jenny-Teno menyadarkan saya taruhan yang kita mainkan tadi konyol sekali," Aku terkekeh. "Kamu juga lebih baik jangan terima asal taruhan dengan orang nggak dikenal. Saya pun kapok."
T hanya menyungging senyum tipis. "Kamu ke undangan ini sendirian?" T bertanya.
Aku memang sendirian ke undangan ini. Tapi karena tidak mau terlihat seperti jones banget alias jomblo ngenes, aku pun berbohong, "Nggak, saya sama teman." Aku memang bersama teman, kok! Frida kan bersamaku. Yah, walau Frida buru-buru ada acara keluarga. "Tapi teman saya langsung pulang setelah salaman sama pengantin," tambahku pada T.
T mengangguk paham. Di sekitar kami tamu undangan berseliweran. Lantunan lagu terdengar dari penyanyi di panggung. Tapi keheningan antara aku dan T kala itu lebih terasa daripada dentuman musik yang menyeruak ke penjuru balairung.
Kesunyian itu mendesakku untuk segera mengatakan sesuatu.
"Omong-omong saya Karina," Aku mengulurkan tangan pada T.
T menjabat tanganku, "Tristan." Dia mengulas senyum tipis.
Setelahnya keheningan kembali mencanggungkan suasana.
"Karina."
Aku menoleh ketika dia memanggilku. "Ya?"
"Saya kebetulan baru minum kopi saja. Belum makan," katanya, "Kamu gimana?"
Aku mengerjap, tidak paham pertanyaannya. "Kamu ngajak saya makan?" tanyaku gamblang, tahu pertanyaan itu terdengar kepedean. Tapi bukankah aku jelas berkata sebelumnya kalau aku setelah ini akan pulang?
Tristan tak menjawabku jelas. Malah balik bertanya, "Memangnya kamu lapar?"
Aku terkekeh, "Kalau tidak lapar bagaimana?" Aku ikutan menjebak pria ini.
"Kamu nggak lanjut makan black-forest kamu?" usulnya. Aku tak mengira Tristan memperhatikan black-forest yang belum sempat kuhabiskan sebelumnya. Aku jadi ingin mencicip kue-kue lain yang ada di sini.
"Hmm," Aku pura-pura berpikir lama, "Saya nggak terlalu pingin, sih," aku berbohong, "Saya lebih pingin ice cream untuk dessert. Tapi di sini nggak ada ice cream," dustaku lagi sembari memendarkan perhatian ke meja-meja prasmanan.
"Sepertinya memang tidak ada," Tristan merespon datar. "Tapi kamu bisa dapat itu nanti. Sekarang mungkin bisa makan kue yang lain yang belum kamu coba."
Aku menyamarkan senyum, tahu Tristan sebetulnya mengajakku menemaninya makan. "Maksudnya kamu minta saya temani kamu makan?" Mengajakku dengan cara yang berbelit-belit khas Tristan.
Perang tanya itu akan tetap berlanjut. Sampai ada salah satu di antara kami yang benar-benar mengajak. Mari lihat siapa yang pertama tumbang.
"Kalau kamu lapar kamu boleh gabung dengan saya." Ah, ternyata itu taktik Tristan. Mengajak dengan menantang. Dasar jual mahal!
Aku tidak mau kalah, jadi aku mengangkat daguku, "Karena kamu memaksa ya mau bagaimana lagi? Saya gabung bersama kamu saja."
Tristan tidak membantah. Dia membiarkan aku berjalan di depannya.
Setelah kami mengambil makanan masing-masing, aku dan Tristan duduk di salah satu sisi meja bundar kosong berlapis kain putih.
"Kamu datang sendirian?" Aku bertanya sambil menggarpu cheesecake.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"