AKU dan Tristan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk kabur dari acara resepsi pernikahan Yohan dan Manda. Tristan memanduku berjalan keluar melewati meja souvenir dan photobooth yang ada di pintu masuk balairung pernikahan.
Bodohnya, aku mau-mau saja mengekori Tristan. Dorongan untuk menghilang dari jarak pandang Yohan dan Manda serta orang-orang yang kukenal sangat menggodaku waktu itu. Aku sedang lelah berpura-pura ramah dan tersenyum. Aku ingin mengasingkan diri, keluar dari sini.
Masalahnya, siapa cowok yang mengajakku pergi ini? Aku tidak kenal! Dan bagaimana bisa aku membiarkan diriku termakan buaiannya hanya karena dia bisa mengucapkan satu-dua kata-kata mutiara yang menyadarkan aku kalau aku ternyata berharga? Nah, diriku kan berharga! Kalau begitu buat apa aku mau ikut dengannya?! Pikirku saat itu.
Aku baru saja akan menyetopkan kaki dari mengikutinya lebih jauh, dan berkata bahwa dia bermain dengan wanita yang salah saat tiba-tiba seorang perempuan memanggil Tristan.
"Tristan? Mau ke mana? Fotoannya gimana?" Aku tidak tahu siapa perempuan cantik itu. Sampai sekarang, setelah menikahi Tristan pun rasanya aku tidak tahu namanya. Yang jelas dia sempat menangkap basah Tristan yang mencoba kabur bersamaku dari resepsi pernikahan. Wanita itu lantas menunjukku dengan keheranan, "Dia bukanny—"
"Gue pulang duluan, Ya," Tristan mengatakannya dengan datar. Dia berhenti sejenak saat berpapasan dengan wanita itu. Begitupula aku yang menontoni mereka. "Barata panggil lo di dalam," Tristan menunjuk tak acuh dengan jempolnya ke dalam aula resepsi. Entah apakah perkataan Tristan itu benar atau hanya titah pengalih perhatian.
"Loh, Tris...!" Setelahnya Tristan tidak memberikan waktu bagi wanita itu untuk menghentikannya. Tristan langsung melangkah pergi sambil menoleh padaku, memastikan aku masih di belakangnya.
Aku tidak merasa itu waktu yang tepat untuk mengatakan aku tidak bisa ikut dengannya. Maka dari itu aku hanya mengangguk dan tersenyum sopan pada wanita malang yang terabaikan itu, lantas kembali berjalan membuntuti Tristan.
Barulah, ketika kami sudah di parkiran, aku berani menghentikan Tristan.
"Hmm, Tristan," Aku enggan menolak, "Saya boleh balik ke resepsi acara nggak?" tanyaku saat Tristan sudah membuka pintu mobilnya.
Pria itu mengerjap bingung, "Kenapa?" tanyanya, "Kamu bisa cari dessert lain di luar."
Aku tertawa. Dia pasti memperhatikan aku memakan banyak kue di acara resepsi. Aku memang sedang suka manisan. Sekadar membahagiakan diri dengan serotonin dan dopamin semu bernama gula untuk membius rasa sakit gara-gara patah hati waktu itu.
"Bukan itu," Aku menyanggah, "Saya rasa saya nggak bisa." Rasanya aneh dan canggung langsung pergi jalan-jalan dengan cowok yang sangat baru aku temui.
Tristan menutup pintu mobil bagian pengendara, tidak jadi masuk. "Maksud kamu?" Dia mengerut bingung, "Kamu nggak bisa makan ice cream?"
Aku mengedipkan mata berkali-kali, "Ice cream?" Loh, kok, es krim?
"Iya," Dia balik menatapku bingung, "Tadi kamu bilang mau ice cream."
Hah? Kapan aku bilang begitu? Aku berusaha mengingat-ingat apakah aku sempat berkata begitu. Dan ternyata aku memang mengatakannya. Tepatnya saat Tristan berbelit-belit mengajakku menemaninya makan sampai aku harus berbohong.
Yaampun! Jadi Tristan tidak bermaksud mengajakku kencan seperti yang aku kira?
Detik itu juga mukaku langsung mendidih merah seperti kepiting rebus. Kepercayaan diriku terlalu tinggi. Tapi detik selanjutnya aku sadar, mengajakku mencari ice cream ke luar juga termasuk salah satu strategi Tristan mengajakku kencan bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"