Plan 33 : ON MY WEDDING DAY

9.1K 1K 40
                                    


SEBULAN sebelum hari pernikahanku dan Tristan, semuanya terasa sempurna. Kami bersama-sama menyiapkan perhelatan pernikahan. Dan walau Tristan tidak banyak membantu karena kesibukannya, aku bisa lebih dekat dan mengenalnya lebih baik. Aku merasa sangat beruntung karena Tristan adalah calon suamiku. Apalagi dia sangat bertanggung jawab. Semuanya terasa pasti. Aku akan menikah. Aku akan punya suami. Aku akan berumah tangga. Dan semua itu dibuat dalam rangka aku akan memiliki anak.

Tapi di antara semua 'akan' itu. Hanya satu yang sejati, bahwa aku akan melahirkan.

Sisanya? Semu. Entah itu suami, pernikahan, rumah tangga. Semuanya semu. Bisa lenyap kapanpun. Hilang kapan saja. Seharusnya aku tahu itu dari awal.

Namun pikiranku sejak hari pertama dipinang tidak seperti itu.

Pikiranku waktu itu adalah... Hei, Tristan kan akan menjadi suamiku! Kenapa tidak sekalian saja aku mencintainya? Oh, baiklah, mari aku coba mencintainya! Sesulit apa, sih?

Lalu kurang dari sebulan aku pun berusaha. Tahu apa yang terjadi?

Aku jatuh hati. Tidak sulit untuk menyukai Tristan. Pria santun baik hati, dijodohkan oleh Ibu, dari keluarga terpandang, mapan, tampan. Malah, sebetulnya aku hampir jatuh cinta!

Hampir!

Apalagi ketika respsi acara pernikahan kami diadakan dengan sangat meriah. Rasanya pernikahan itu dibuat untuk seorang princess dan bukan untukku saja! Ada acara potong kue, dansa pertama, wedding toast, bahkan wedding kiss! Iya! Ada ciumannya! Itu bahkan ciuman terakhir kami! Biar kuulangi sekali lagi, ciuman terakhir kami adalah ciuman di hari pernikahan kami! Bagaimana? Miris tidak?

Ibuku dan Mama Tristan memamerkan pernikahan kami dengan sangat baik. Hubungan kami rasanya terlalu tereksploitasi oleh hal bisnis, politik, dan media massa. Aku bukan selebriti, tapi lain ceritanya bila aku menikahi seseorang yang keluarganya terpandang sampai Ibu dan Bapak Presiden Negera Indonesia (yah, walau tidak datang dan malah mengirim salah satu ajudannya), sekalian menteri kabinetnya berkenan hadir di upacara pernikahan kami.

"Karina, sini!" Ibu memanggilku. "Karina, sini sebentar Mama mau ngenalin kamu!" Mama Tristan juga memanggilku. "Kar! Sini, sini!" Puluhan kali aku dikenalkan oleh teman-teman mereka. Tapi saat Tristan menghilang, semua orang menanyakan, "Loh, Karina, kok sendiri? Tristan mana?" Ibuku bertanya.

Aku menggeleng tidak tahu. Aku sibuk meladeni teman-temanku yang menyelamatiku saat itu, jadi aku tak sempat melacak keberadaan Tristan yang menghilang secara misterius.

Sampai akhirnya acara makan-makan sudah akan berakhir dan Tristan dicari oleh hampir semua orang. Aku pun terpaksa turun tangan mencarinya. Waktu itu aku tidak cukup mengenal Tristan untuk tahu kebiasaan atau tempat favoritnya kala menyendiri. Jadi aku jelajahi sendiri area pernikahan hingga backstage.

Dan ternyata, Tristan sedang mengasingkan diri. Dia duduk sendirian, membelakangiku, di ruang berhias yang kosong. Aku hendak menghampirinya saat kudengar dia sedang mengobrol dengan seseorang di telepon.

"....secara logis, anak itu alat penyambung generasi untuk meneruskan keluarga. Dan istri bila disangkut pautkan dengan binis dan politik, bisa menjadi bidak untuk menyejahterakan keluarga. Secara gamblang, prinsip ini sudah digunakan oleh banyak orang tanpa mereka sadari."

Apa? Bidak? Enak saja! Dan apa katanya? Anak sebagai alat penyambung generasi?! Ya oke, sih, memang anak itu penyambung generasi, tapi masa alat, sih?! Alat! Dipikir lahirin anak itu gampang?! Kejam banget, sih, bahasanya!

Lagipula, ini cowok ternyata terlalu teoritis, deh! Terlalu serius!

Tapi aku mungkin hanya salah paham. Jadi aku bersembunyi untuk meyimak kelanjutannya. Tristan masih menempelkan HP-nya ke telinga, berbicara dengan lawan bicaranya di telepon.

EXIT PLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang