MENIKAH. Mari jangan berbasa-basi menghabiskan waktu untuk menjelaskan pengertiannya. Karena aku bukan pakarnya dan kasihan sekali kalian bila mendengar semua itu dariku, wanita yang tak punya kesempatan memilih pria yang akan menjadi teman hidup.
Itulah mengapa saat Sasha menelponku tadi malam, menanyakan opiniku tentang merancang pernikahan yang baik, aku cuma bisa mengutip semua yang aku temukan diinternet, persis seperti anak SMA yang menjiplak jawaban ulangan dari Brainly. Padahal materi yang kujelaskan bukan hibridasi, bukan juga biologi molekuler. Tapi tentang itikad pernikahan!
"Mbak Karina."
Setelah kupikir-pikir, Ibuku memang kejam. Bisa-bisanya dulu dia memaksaku cepat-cepat menikah dan memproduksi momongan. Dia tahu sendiri melahirkan itu tak secepat membuat kue mekar di oven. Dan lagi, masa dia melahirkanku hanya untuk mengeluarkan namaku dari Kartu Keluarga? Kekanakan sekali kan?!
"Mbak Karina...." Aku tersadar dari lamunan. Keenan melambaikan tangannya di depan wajahku. "Sedang ada masalah ya, Mbak?" tanyanya. Kami sedang duduk di kafeteria seberang kantor gedung Lawson & Yan.
"Maaf," Aku memasang senyum ramahku, "Saya cuman kurang tidur saja."
Keenan membalas senyumku dan mengangguk. Yaampun, bagaimana bisa aku membuang waktu untuk menyesali masa lalu padahal aku sedang duduk di depan Keenan?
Coba lihat dia. Wajah dan kulit mulusnya, tubuh jangkungnya, cara berpakaiannya, serta atribut-atribut wajah seperti alis, bulu mata, dan hidungnya.... Semuanya adalah perpaduan sempurna, betul-betul memancarkan hawa seorang pangeran.
Sayangnya kami tidak makan berdua saja. Tapi bersama Bima dan Hana, anak-anak magang lain, serta Dio, supervisor magang yang kebetulan berpapasan denganku saat melintasi lobi kantor. Mereka sedang dalam perjalanan makan siang. Keenan pun berbaik hati menawarkanku ikut makan bersama mereka.
Aku oke-oke saja meski tak bisa berduaan dengan Keenan. Tapi aku cukup dongkol dengan Dio, supervisor Keenan. Dia menanyakan pertanyaan yang merusak suasana romantis—(yang mungkin saja terjadi kan?)—di antara aku dan Keenan.
"Mbak Karina istrinya Tristan Yuwangsa ya, Mbak?" Dio bertanya. Pertanyaannya seakan ingin mengingatkan Keenan bahwa aku hanyalah seorang tante-tante tua sudah beranak.
Aku mengangguk kaku, "Iya, begitulah."
"Wah, keren banget, Mbak," Bima, seusia dan satu kampus dengan Keenan, dengan polosnya bertepuk tangan, "Berati Mbak Karina yang punya restoran ini, dong?" Dia lantas menepuk meja, "Kasih potongan makan buat kita-kita, dong, Mbak...."
Hana, yang duduk di sampingku menimpali, "Eh, Bim, malu dong lo minta diskon. Kenal juga baru, udah minta-minta aja!" Setelah menyedot es jeruk dia berkata lagi, "Lagian kalau Mbak Karina bisa kasih potongan harga, gue nggak akan ijinin! Lo mending bayar ganti rugi charger laptop gue yang lo hilangin kemarin!" Lalu Hana menoleh padaku, "Jangan kasih Bima diskon ya, Mbak Kar. Biar dia nggak keenakan terus." Aku mengedip tidak paham.
Bima mencebik, "Pelit lo, Han, kayak teman satu kontrakan gue dulu," cibirnya.
Memangnya restoran ini punyaku ya? Aku lupa Yuwangsa punya jaringan group Food & Beverage. Kalaupun ingat bukan berarti ini punyaku juga, kali.
Sementara Hana dan Bima masih saling beradu mulut, Dio bertanya lagi, "Saya dengar suaminya Mbak Karina lagi bersaing untuk jadi direktur anak perusahaan Yuwangsa & Holding ya, Mbak?" Tidak semua orang tahu informasi itu. Siapa Dio ini?
Perhatian yang tadinya kucurahkan pada Keenan sementara kugunakan untuk mengenali Dio. "Mas Dio tahu banyak ya," aku tersenyum kecut. "Pasti sering pantengin info terbaru Yuwangsa ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
Chick-LitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"